Bab 8

10 0 0
                                    

"Yakin, Abel berani tidur di kamar sendiri?" Permintaan putriku ini terbilang mengejutkan. Baru semalam gak mau lepas dari ketek mamanya, tiba-tiba secepat itu  berubah pikiran.

"Iya, Ma. Kata Bunda Yuni, anak yang udah besar gak boleh tidur sama orang tua lagi. Harus jadi anak mandiri dan pemberani."

Manut banget kalau di-sounding sama gurunya. Apa aku minta bantuan Bunda Yuni saja tentang kondisi hubunganku dengan mantan suami. Siapa tahu Abel lebih bisa mengerti karena pendidik tersebut pasti sudah dibekali ilmu tentang cara menghadapi anak-anak dengan berbagai macam karakter. Tentunya selain memiliki kesabaran ekstra.

Namun masih maju mundur, bukankah lebih baik jika Abel tahu langsung dari aku atau Raymond. Harus atur waktu khusus untuk mengikuti seminar parenting ini. Minimal cari tahu sendiri lewat googling lah walaupun teori itu enggak segampang praktek. Setahu Abel, Mas Rahadi adalah temanku, bukan calon ayah sambung. Ini juga PR berat bagiku.

"Terus, anak yang mandiri itu harus bagaimana, Bel?" Kadang aku mengetes daya ingat Abel tentang materi atau nasihat yang disampaikan gurunya.

"Kalau makan gak boleh disuapin sama Mama, mandi sendiri, pake baju sendiri, kalau sekolah gak boleh ditungguin sama Mama."

"Pinter anak mama." Kucium pipinya merahnya dengan gemas.

"Bonekanya pindahin ke kamar Abel semua ya, Ma."

Hadeh, bakalan kerja lembur ini. Calon kamar Abel sebenarnya sudah rapi. Ada satu ranjang nomor dua dan satu lemari pakaian. Namun masih terlihat polos, dulu  rencananya mau dicat ulang warna soft pink atau kutambahi wallpaper karakter biar terkesan lucu dan girly. Belum dirombak jadi cantik, anakku ngeyel kepengin tidur sendiri.

"Selamat malam! Pada ngapain, nih?" Raymond berdiri tegak di ambang pintu.

"Papa!"

Beruntung sekali dia disambut Abel dengan ceria. Bahkan sekarang anakku berani bermanja-manja menggelendot lengan papanya. Pakai jampi-jampi apa sehingga anakku begitu mudah lengket dengannya. Apalagi semenjak Raymond rutin meluangkan waktu menjelang gadis cilik itu  terlelap.

"Abel ... kalau habis dari luar, pintu depan jangan lupa ditutup, ya!"

Aku memang mempersilahkan Raymond bertemu dengan Abel kapan saja. Namun aku gak pernah berkata 'anggap saja ini rumahmu sendiri' sehingga Raymond dengan bebasnya nyelonong masuk tanpa permisi. Gak ada sopan-sopannya jadi mantan suami.

"Sorry, tadi aku udah ngetuk tapi gak ada yang jawab." Merasa tersindir, Raymond mengklarifikasi.

"Masa? Aku gak dengar, tuh."

"Korek kuping harganya murah lho, Mon."

Sem to the prul, semprul! Gini-gini pendengaranku masih berfungsi dengan sangat baik.

"Abel tadi dengar ketukan pintu, gak?"

"Enggak, Ma. Emangnya Papa tadi ketuk pintu?" Bocah berambut hitam berkilau itu mendongak mencari jawaban sang papa.

"Ketuk pintu, kok, tapi pakai satu jari."

Raymond gak sempat menghindar waktu satu bantal mendarat mengenai wajahnya. Rasain! Sempat kudengar tawanya sebelum aku berlalu dari kamar Abel.

Saat bapak dan anak quality time berdua, aku menepi di teras. Ngopi, scroll sosmed atau meneruskan kerjaan yang sengaja dibawa pulang. Bisa saja di kamarku karena sekarang Abel sudah menghuni kamar sendiri. Namun, aku takut dengan fitnah netijen. Kalau aku di dalam takutnya dikira kenapa-kenapa dengan Raymond. Sebisa mungkin kubatasi dari habis Magrib sampai pukul sembilan malam saja. Toh Abel bukan tipikal anak yang betah begadang. Jarang tidur hingga larut kecuali weekend.

Ketika Mantan Bikin Nyaman Where stories live. Discover now