Bab 3

22 4 0
                                    


"Emang duda gak tahu diri lo, ya! Sayang dulu gue gak ketemu elo di sidang terakhir. Jangan harap lo bisa lolos dari gue sekarang. Sakit hati temen gue bakal gue bales hari ini."

Pipit murka, dia menggulung kemeja hingga siku, lantas mencopot wedges 15cm kesayangan. Buat apa? Mari kita saksikan!

"Ampun!"

Raymond lari terbirit-birit menghindari timpukan wedges Pipit. Nah, berbanggalah kalian jadi wanita. Apa yang kalian pakai bisa jadi memiliki fungsi ganda. Satu untuk gaya, satu lagi untuk melumpuhkan maling, jambret, kang selingkuh dan sejenisnya.

"Mau ke mana lo? Gue belum selesai!"

Berasa nonton film action, aku ngilu lihat aksi Pipit ngejar Raymond, lompat pagar dengan lincahnya dan dalam sekejap sampai depan pintu kontrakan sebelah. Pasti dulu waktu pelajaran olahraga dapat nilai A terus. Gak kaya aku, lari 20 meter aja kesulitan, sesulit lari dari bayangan mantan.

"Keluar lo!"

Masih dengan kekuatan supernya, Pipit gedor-gedor pintu cat biru di sana. Harus dihentikan! Ini sudah malam, bahaya kalau sampai mengundang tetangga kanan kiri. Aku berjalan memutar lewat jalan depan, gak mudah melompati pagar kaya mereka karena aku bukan Catwoman.

"Udah, ayo pulang! Gak enak sama tetangga ribut malem-malem."

Aku menyusul wanita kurus berambut keriting yang masih kesulitan menahan emosi. Di dalam gak kulihat ada tanda-tanda sang penghuni, gelap dan sepi. Cemen banget si Raymond! 

"Awas aja kalau besok ketemu gue lagi!"

"Iya, iya. Ayo pulang!"

Kelembutanku meluluhkan Pipit, dia berhasil kuamankan. Namun sampai rumah aku tetap disidang.

"Tahan dulu interogasinya! Aku mau lihat Abel dulu," kilahku.

"Buruan!"

"Lima menit, oke!"

"Gue hitung dari sekarang." Dia melihat jam di pergelangan tangan. "Kalau lewat dari lima menit, bakal gue dobrak rumah kontrakan si Raymond."

"Oke, oke!" Jatuhnya malah parno lihat si Cungkring mencak-mencak.

Malaikat kecilku sudah terlelap, mendekap boneka sapi kesayangan. Tidurnya anteng dan gak pernah polah. Beda banget dengan bapaknya yang berisik dan suka berubah-ubah posisi. Tunggu! Kenapa yang kuingat malah bapaknya?

Kening Abel kukecup sekilas, mungkin  mimpinya benar-benar indah sampai gak terganggu dengan mamanya. Bayi tomatku berusia enam tahun kini, kian terlihat paras ayu dan imut yang diturunkan dari aku tentunya, aku yang mengandung, melahirkan dan merawat. Ada sepasang mata bulat, alis tebal, bibir mungil merah muda dan hidung bangir. Karena pipi chubby kemerahan itulah sehingga dia kusebut  dengan bayi tomat. Secara fisik, Raymond cuma menyumbang bibit saja.

Sekarang aku berdiri di depan cermin, memastikan bahwa Abel memang foto kopi  ibunya. Wanita dalam pantulan kaca itu masih seksi dan proporsional meskipun sudah memiliki anak. Masih pantas kok pakai seragam putih abu-abu, kalau karnaval Agustusan maksudnya. Mataku cenderung sipit, tapi kalau melotot bisa lebar dan bulat, serius. Hidungku juga lancip, tiap hari aku rajin pakai penjepit selama lima menit sebelum tidur. Bibir apalagi, tipis dan mungil kalau diaplikasikan dengan sentuhan make up yang baik dan benar.

Kalian setuju, kan, kalau Abel duplikat Ramona?

"Padahal mama yang selama ini mati-matian  berjuang buat kamu, Bel. Kenapa muka bapakmu yang kamu ambil. Hiks!"

Bayangkan, bagaimanana aku bisa dengan gampangnya melupakan Raymond? Lihat Abel saja berasa lihat muka mantan suami versi imut.

Pepatah kuno mengatakan, kalau kita membenci seseorang, entah sikap, sifat atau wajahnya pasti akan mirip dengan orang yang kita benci. Aku sih gak percaya, buktinya aku pernah membenci Nagita Slavina tapi Abel nasibnya gak mirip Rafathar.

Ketika Mantan Bikin Nyaman Where stories live. Discover now