Bab 6

17 1 0
                                    

"Pagi, Sayang! Mau berangkat sekolah, ya?" sapa tetangga sebelah pada putriku.

"Iya, Pa."

"Cantik banget sih hari ini, sama kaya yang lagi iketin rambut kamu." Kumat, kumat.

"Ma, kata papa ... mama cantik. Ciyeee!" Abel setengah berbisik, tapi aku yakin bapaknya dengar.

Ini anak belajar dari mana bisa ngeledekin pakai cia cie begitu? Ah, bocil milenial memang terlalu cepat dewasa. Sering anakku jadi pusat perhatian lawan jenisnya. Bahkan pernah mendapatkan cokelat dari teman sekelas bernama Nakula. Yang mencengangkan adalah ketika bocah berambut keriting itu terang-terangan meminta nomor WA padaku.

"Tante, Abel punya WA, gak?" Gayanya beud.

"Gak ada, Sayang. Abel belum boleh punya WA."

"Tik Tok?"

"Belum boleh juga."

"Yaaah, Tante gak asik, nih."

Etdaaah!

Setiap orang tua pasti punya pilihan mau mendidik anaknya seperti apa. Ponsel di era digital memang termasuk kebutuhan utama. Namun, untuk anak sekecil Abel, aku belum berani memberikan kelonggaran untuk mengakses sosial media. Terlalu riskan, sedang aku gak bisa mengontrol 24 jam.

"Yaaah, gerimis nih, Ma. Abang Gojek-nya masih lama, ya," keluh Abel.

"Sebentar lagi datang, kok. Sabar, ya!"

Mendung menggantung rata dan rintik-rintik kecil mulai berjatuhan. Cahaya matahari yang tak bisa menembus awan pekat membuat sekeliling gelap.

"Mau papa anterin pakai mobil, gak, daripada nanti kehujanan di jalan."

Mobil? Aku menengok halaman rumah sebelah dan ya, ada Jazz merah di sana entah sejak kapan nangkringnya.

"Mau, Pa. Ya, kan, Ma?" Abel selalu membuat keputusan tanpa meminta persetujuanku. Gemes!

"Gak bisa, Sayang. Nanti kasihan Abang Gojek-nya."

Driver dengan ciri khas helm dan jaket berwarna hijau membunyikan klakson dari luar pagar.

"Cancel aja, biar aku yang bayar."

Anak sama bapak sama saja, sesuka hati mengambil keputusan. Raymond berlari menghampiri driver pesananku. Dia mengambil dua lembar uang dari saku celana lantas meminta maaf karena pesanan dibatalkan.

"Tunggu ya, Bel. Papa mau siap-siap dulu sekalian berangkat ngantor."

Seperti anak kecil yang ketakutan ditinggal emaknya bepergian. Raymond lari ke dalam dan keluar lagi dalam waktu kilat sembari menenteng tas kerja. Semenyebalkan apapun dirinya, tapi begitu lihat style pakaian  yang melekat di tubuhnya, spontan saja aku menutup mulut menahan tawa.

"Mama kamu kenapa sih, Bel? Ada yang aneh? Atau terpesona lihat  kegantengan papa."  Raymond sibuk membuat simpul dasi di kerah kemeja hitamnya.

"Papa yang aneh, masa mau kerja pakai celana kolor." Abel pun terpingkal-pingkal menyaksikan hiburan pagi ini.

"Hah!" Raymond yang hampir mencapai pintu mobil putar balik ke dalam lagi.

Tahu gitu kurekam dan kuposting di sosmed tadi. Lumayan kalau viral bisa masuk podcast-nya Deddy Corbuzier.

___

"Dadaaah, Papa ... Mama!"

Abel melambaikan tangan setelah dijemput salah satu guru menggunakan payung. Benar kata Raymond, hujan lebat mengguyur  sebelum tiba di sekolah. Biasanya aku yang mengantar hingga kelas. Namun payungku tertinggal di rumah. Terpaksa gak turun mobil dan ... ya, tinggal kami berdua saja sekarang.

Ketika Mantan Bikin Nyaman Where stories live. Discover now