Bab 5

18 3 0
                                    

"Kan papa tadi lagi makan, Sayang. Masa iya pakai masker." Ku-setting intonasiku sesantai mungkin, biar gak kelihatan bohong di mata anak kecil.

Kadang aku dibikin gelagapan kalau tiba-tiba Abel sampai sedetail itu memperhatikan keanehan-keanehan di sekelilingnya.

"Abel sabar, ya! Nanti kita pasti tinggal sama-sama lagi," imbuh Raymond.

"Iya, Pa."

Kita? Tinggal sama-sama lagi? Ogah!

Rasa bersalah ini jujur makin menggunung  tiap kali menambahnya dengan kebohongan demi kebohongan. Namun bingung memberikan alasan masuk akal pada Abel kenapa aku dan Raymond bercerai. Abel terlalu dini, terlalu polos dan tentu saja nalarnya belum sampai untuk mengartikan apa itu pengkhianatan, perselingkuhan dan kata cerai.

"Mau jalan-jalan sama papa nggak, kita sepedaan sampai taman. Mumpung masih pagi," usul Raymond.

Abel begitu antusias, tetapi langsung ciut melihat pelototan mataku. "Boleh ya, Ma?" pintanya lagi.

Terakhir kuizinkan bersepeda dua Minggu lalu. Setelah Abel terjatuh di selokan dan meninggalkan luka di tangan dan lutut. Bekasnya saja masih ada. Namun lama-kelamaan kasihan. Mungkin seperti ini yang dirasakan oleh Bapak dan Ibu sewaktu aku kecil. Sering jatuh dari sepeda berkali-kali tapi gak pernah kapok, justru semakin kebal dan menjadikannya hal biasa. 

Lihat muka melas Abel, aku teringat ekspresi Masha waktu meminta sesuatu pada beruang. Ngeselin tapi lucu. Terlepas akting atau bukan, aku gak mau anakku curiga karena selama ini aku masih sedikit membatasi akses Raymond untuk beradaptasi dengan Abel.

"Oke, tapi gak boleh lama-lama."

"Yay!" Abel bersorak seraya mengangkat kedua tangan.

"Lama juga gak papa, kok. Kan Mama boleh ikut."

"Ray!" Itu mulut minta distaples memang.

"Horeee! Ayo, Ma. Buruan siap-siap." Mulai heboh baby tomatku.

"Mama di rumah aja, ya. Kan belum beres-beres."

"Gak mau! Pokoknya Mama harus ikut."

Kalau sudah melipat tangan di dada dengan wajah ditekuk begitu mana bisa aku menolak. Raymond tersenyum meledek, gak tahu kenapa hari ini dia menang terus. Semesta dan hoki gak dukung aku.

Pelindung lutut, siku dan helm kupastikan terpasang aman dan nyaman di tubuh Abel. Separno itu aku jadi emak, masalah safety nomor satu. Masih shock dengan insiden yang menimpa Abel beberapa waktu lalu. Dia yang jatuh, aku yang sakit.

Raymond menunggu di luar pagar dan nangkring di atas sepeda gunungnya, mengenakan helm dan setelan ala bikers.

"Sepedamu mana?" Sang mantan bertanya dengan mata menyapu sekelilingku.

"Rusak." Aku membuka pintu pagar dan mengeluarkan sepeda lipat milik Abel.

"Terus kamu gimana?"

"Kamu duluan aja sama Abel, aku nyusul sambil jogging."

"Yakin? Bubur ayam di perutmu juga belum turun. Gak baik buat lari-lari, yang ada malah sakit perutmu. Istilah Jawanya sengkil."

"Aman, aku bisa jalan kaki."

"Dua kilometer itu gak dekat, Mon, ditempuh dengan jalan kaki."

"Ya udah aku gak jadi ikut."

"Mama!" Bibir Abel mengerucut, alis menaut dan sepasang matanya mulai mendung. Berabe kalau sampai bikin dia nangis dan sedih. Dilema.

Ketika Mantan Bikin Nyaman Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang