Bab 9

10 0 0
                                    

"Berbalik, Ray!" Kusuruh Raymond membalikkan tubuhnya.

Bisa-bisa aku galfok sungguhan lihat dada dan perut enam kotak itu, bahasa gaulnya emak-emak sispek. Oke, bukannya aku sok kaget karena dulu pernah melihat semuanya. Namun sekarang tak lagi sama, dulu gak ada bentuknya, serius. Hanya terdiri dari tulang-tulang rangka saking kerempengnya.

"Hmmm." Dia terlungkup tanpa mengenakan kaus.

Please jangan tremor, Mon! Ingat tujuanmu tadi, hanya mengamalkan sila kedua Pancasila. Bismillah, aku membalurkan minyak kayu putih di sekitar bawah leher dan punggung. Kemudian mulai mengerok ke samping mengikuti arah tulang belakang. Dikerok tipis saja langsung muncul warna kemerahan di permukaan kulit yang terkena gesekan koin. Berarti gak bohong ini.

Beberapa kali Raymond bersendawa, bukan karena kenyang, tapi reaksi dari cara mengusir angin secara tradisional, yakni kerokan.

"Kamu telat makan?" tanyaku, karena hal itu sering memicu masuk angin.

"Hmmm."

Dia gak akan banyak omong kalau sedang sakit beneran. Meringis-ringis begitu, pasti perut sakit dan begah, mual dan pinggang  pegal-pegal.

"Kok, bisa?" Bukankah ada sang Mama di sini, wanita itu suka sekali memasak untuk anak lelaki kesayangannya.

"Banyak kerjaan."

"Udah tau kerjaan banyak, ngapain pakai datang ke rumah nemenin Abel."

"Terlanjur janji mau nonton bareng episode  terbaru Upin Ipin."

Aku suka speechless kalau alasannya demi anak. Tapi ... harusnya dia komunikasi sama aku. Sebagai mantan istri, aku juga masih punya hati, kok. Gak harus setiap hari dia meluangkan waktu untuk putrinya jika benar-benar sibuk. Atau jangan-jangan sengaja bikin aku merasa bersalah terus kasihan, terus luluh. Gak semudah itu!

"Perlu ke klinik, gak?" Tuntas sudah  pertolongan pertamaku pada penderita masuk angin.

"Gak usah, udah enakan kok." Raymond mengenakan kausnya lagi lantas duduk. Terbukti, the power of kerokan bisa bikin fit lebih cepat.

"Minum tehnya, gih!" 

Walaupun teh itu sudah gak begitu hangat, seperti pelukannya. Eh! Canda, Mak. Jangan emosi dulu.

"Makasih ya, Mon."

"Hmmm."

"Mama pasti panik tadi, maaf kalau Mama  ngerepotin kamu malam-malam begini. Pasti kamu--"

"Gak papa, Ray. Aku bisa ngerti," tukasku.

Sama seperti hubunganku dengan Raymond usai ketuk palu. Dengan mertua pun aku gak pernah komunikasi lagi. Namun satu hal yang pasti, beliau gak pernah lupa dengan ulang tahun Abel dan selalu mengirimkan kado walaupun tidak secara langsung. Terakhir ia memberikan sebuah boneka kelinci berukuran besar yang dijadikan guling, teman tidur Abel.

"Abel gak kebangun?"

"Enggak, kok. Itu lagi ditemenin sama Mama."

"Syukurlah."

"Aku pamit ya, Ray. Takut Abel--"

"ASSALAMUALAIKUM, MBAK MONA!"

Belum selesai berpamitan, kami dikejutkan oleh suara lantang dari luar. Aku bergegas keluar, Raymond menyeret langkah mengikuti.

"Ada apa, Pak RT, Bu RT?" Aku merapat ke pagar pembatas karena lebih dekat dengan teras rumahku.

Kenapa mereka baru datang sekarang? Ketika pertolonganku telah selesai dan  sukses membuat Raymond kembali bugar.

Ketika Mantan Bikin Nyaman Where stories live. Discover now