Bab 4

17 1 0
                                    



"Kamu mau mencuci otak anakku?" Aku menatap sengit lelaki yang sedang menahan tawa.

"Anakku juga kali, Mon. Kamu lupa kalau kita pernah kerjasama?"

"Emang iya pernah kerjasama, tapi waktu brojolin Abel, aku sendirian yang kerja."

Bibir Raymond terkatup, gak mau mendebat lagi mungkin. Dia memilih menandaskan sarapannya. Tapi yaiyalah aku kerja sendiri, ngeden dan kesakitan sendiri, ya kali Abel dibrojolin sama bapaknya. Mau lewat pintu sebelah mana coba?

"Aku cuma ngajarin Abel kasih sayang. Salahnya di mana? Cuci otak di bagian mana?"

Salahnya terletak pada Raymond, dia selalu lancang menyeret aku untuk bernostalgia. Kenangan receh pun masih diingat. Tiap makan bubur ayam bareng, kalau sama si Mamang gak boleh request nambah kacang goreng seperti sekarang ini. Dengan sukarela Raymond akan memberikan topping biji-bijian kriuk itu untukku.

"Ada banyak cara lain, gak harus dengan ini." Benci pokoknya kalau dipaksa terjun ke memori bersamanya.

"Dengan peluk boleh?" Pria bercelana kargo  pendek itu terkekeh menyebalkan.

"Bel, bisa ambilin mama lakban, gak?"

"Buat apa, Ma?"

"Buat nutupin mulut ember."

"Emang ember ada mulutnya ya, Ma?"

Oh, Tuhaaan!

"Ambilin mama sapu juga, dong!"

"Buat apa, Ma?"

"Buat bersihin serpihan-serpihan kenangan mantan."

"Mama ngomong apa, sih. Abel gak ngerti." Bocahku menggeleng cuek. Aku lupa bahasan ini terlalu dewasa untuknya.

"Bawelmu ngangenin." Alis tebal Raymond terangkat sebelah. Sudut bibir tertarik ke atas.

"Hei--"

Blup! Mulutku disumpal dengan sesendok bubur, disusul kerupuk, kemudian sate hati ampela. Saking penuhnya sampai gak bisa ngomong dan maki-maki si Raymond. PD banget bilang kangen setelah apa yang dilakukannya beberapa tahun lalu.

"Habiskan makanmu dulu, ngomel-ngomel juga butuh tenaga." Raymond hendak mengulang suapan paksa seperti tadi. Namun aku segera merebut sendok itu dari tangannya.

"Aku bukan anak kecil dan aku bisa sendiri."

"Masa? Biasanya minta lanjut sampai habis. Tanggung jawab, kata seseorang."

Kan, kan, baru berdiri tegak dan mengibarkan bendera bertuliskan move on. Dia mau menjungkirbalikkan aku ke lembah kenangan. Dulu scene-nya gak begini, jika ada perdebatan dan mengharuskan kami membawanya sampai meja makan. Raymond akan membungkam mulutku yang cerewet dengan suapan paksa. Sekalian saja kuminta dirinya menyelesaikan hingga akhir. Siapa suruh cari perkara? Sok penting banget itu perkara dicari-cari melulu.

"Udah selesai kan, makannya. Kamu boleh pulang, jangan lupa cuci dulu mangkoknya."

Males dipancing-pancing terus, terutama untuk sesuatu yang gak bisa kusangkal. Ada rencana busuk apa, sih, dia ngontrak rumah gandeng tembok begini? Jangan harap bisa mengambil Abel dariku. Di surat perjanjian pra nikah sudah jelas poin-poinnya. Siapa yang berkhianat, maka dia tidak akan  mendapatkan hak asuh anak.

"Aku nunggu kamu selesai makan, biar sekalian mangkoknya kubawa pulang."

Loh! Aku memeriksa mangkok sejuta umat mamang-mamang bakso yang memiliki ciri khas gambar ayam jago. Seingatku, di rumah ada setengah lusin yang persis seperti ini.

Ketika Mantan Bikin Nyaman Where stories live. Discover now