Part 29

13 2 0
                                    

"Apa yang Ibu katakan padanya? Kenapa dia tidak menjawab telepon dariku?" tanya Irgina.

"Ya, kemarin dia datang ke mari," ucap Nuraini.

Irgina menatap ibunya. "Lalu?"

Nuraini kembali menatap putrinya. "Dia menanyakan alamatmu, tapi Ibu tidak memberitahunya. Ibu menyuruhnya pergi meninggalkanmu dan menjauhimu sejauh-jauhnya."

"Tapi, kenapa?" Buliran bening menggenang di pelupuk mata Irgina.

"Kau pikir Ibu tidak tahu pemikiran pria-pria seperti Erfan? Dia pasti ingin melakukan hal buruk padamu. Itulah sebabnya dia menanyakan alamatmu pada Ibu. Apa yang terjadi jika aku memberitahukan alamatmu padanya?" kata Nuraini sambil membuang muka.

Irgina menggeleng. "Bagaimana bisa Ibu mengambil kesimpulan seperti itu? Apakah Ibu benar-benar mengenal Mas Erfan?"

"Dari bentukannya saja Ibu sudah tahu. Dia bukan pria baik," sahut Nuraini.

"Apakah Ibu tahu, kenapa Mas Erfan datang ke mari dan menanyakan alamatku pada Ibu?" tanya Irgina.

Nuraini tidak menjawab.

"Bus yang aku tumpangi mengalami kecelakaan saat pulang dari sini minggu lalu," ujar Irgina.

Nuraini terkejut. Ia menatap putrinya. "Tapi, kenapa kau tidak bilang pada Ibu?"

"Aku tidak mau membuat Ibu khawatir. Aku tahu Ibu punya tekanan darah tinggi."

Nuraini tampak khawatir.

Irgina melanjutkan, "Aku menelepon Mas Erfan, tapi tidak diangkat. Mungkin dia sedang sibuk. Aku mengirimkan pesan dan mengatakan padanya tentang apa yang terjadi padaku. Tapi, aku lupa tidak memberitahukan alamat rumah sakit dan juga alamat rumahku padanya. Lalu saat aku keluar dari rumah sakit, tasku dijambret. Ponsel dan uangku di sana semua. Aku tidak bisa mengabari Mas Erfan.

Mungkin Mas Erfan membaca pesan dariku, tapi dia tidak bisa menghubungiku, karena ponselku yang dicuri. Karena dia cemas, dia datang ke mari dan menanyakan alamatku. Tapi, Ibu malah mengatakan sesuatu yang jahat padanya tanpa tahu apa yang sebenarnya terjadi."

Nuraini tidak merespon.

"Aku membeli ponsel baru dan berhasil mendapatkan nomor Mas Erfan dari teman SMA-nya. Tapi, meski aku terus menghubunginya, dia tidak mengangkat telepon dariku, dia tidak membalas pesan dariku," kata Irgina.

"Jangan mencari alasan agar membuat Ibu luluh. Bekerja di perusahaan penerbit membuatmu pandai mengarang cerita. Ibu tidak suka." Setelah berkata demikian, Nuraini berlalu.

Irgina sudah tidak bisa membendung air matanya lagi. Butiran bening itu mengalir membasahi pipinya. Pandangannya tertuju ke pisau di wadah buah-buahan.

Sosok wanita bergaun merah itu berdiri di belakang Irgina. Ia tersenyum lebar lalu berbisik, "Ambil pisaunya. Tidak ada salahnya kau melawan sedikit. Sudah terlalu lama ibumu mengatur hidupmu sampai tertekan begini."

Irgina mengambil pisau tersebut lalu menatap pantulan wajahnya di pisau yang tajam itu.

Sosok itu mendekatkan wajahnya ke telinga Irgina. Matanya yang merah menyala itu melotot. "Bagus, kau hanya perlu menusuk atau menyayat lehernya. Kalau dia mati, kau bebas hidup bersama Erfan, kan? Lagipula dia tidak pernah bertindak seperti seorang ibu. Dia hanya memperlakukanmu seperti boneka. Dia mengatur hidupmu dan tidak pernah memberikanmu hak untuk memilih. Dia...."

Irgina menyentuh ujung pisau tersebut dengan telunjuknya. Sosok bermata merah itu tidak melanjutkan kata-katanya. Darah segar menetes ke lantai.

"Apa aku harus selalu mengiyakan perintah Ibu? Bukankah aku juga punya hak untuk menentukan pilihanku sendiri?" gumam Irgina.

Wanita itu tersenyum mengerikan. "Ya, kau punya hak untuk menentukan pilihanmu sendiri. Sekarang kau tidak punya pilihan selain menyingkirkan wanita itu."

Irgina menggerakkan jemarinya mengusap mata pisau tersebut hingga darah dari tangannya semakin banyak mengalir.

Sosok itu tertawa. "Jadi, kau ingin melukai dirimu sendiri? Bagus, kau bisa mati dan ikut bersamaku. Sayat di bagian pergelangan tanganmu. Itu tidak akan lama. Cepat, lakukan!"

"Apa yang kau lakukan!" Nuraini merebut pisau dari tangan putrinya lalu melemparkannya ke meja.

Irgina dan sosok bermata merah itu mendongkak menatap Nuraini.

Nuraini merobek sedikit roknya lalu mengikat telunjuk Irgina yang terluka. "Kau pasti sudah gila. Kau sangat mencintainya sehingga kau rela melukai dirimu sendiri karena dia."

Irgina menunduk dalam.

"Baiklah, Ibu tidak akan memaksamu lagi untuk dekat-dekat dengan Hasan," kata Nuraini.

Irgina mendongkak menatap ibunya. "Ibu...."

"Tapi, bukan berarti Ibu merestui hubunganmu dengan Erfan," gerutu Nuraini.

Irgina cemberut.

Sosok bergaun merah itu melihat pada Irgina dan Nuraini bergantian.

Keesokan harinya, Irgina pamit pada ibunya. Ia harus kembali ke luar kota. Di dalam bus, Irgina tampak melamun.

Wanita berbaju merah itu duduk di sampingnya. Ia berbisik, "Aku tahu kau punya banyak kebencian. Jangan menahannya, luapkan semuanya. Kebencian yang kau tahan akan membuat hatimu menjadi hitam lalu hancur dan memudar menjadi butiran debu."

Senyuman lebar terukir di bibir wanita bermata merah. Ia meniup wajah Irgina.

Irgina mendengus kesal. Ia tampak gusar. Gadis itu tiba-tiba merasa khawatir tanpa sebab.

Ponsel Irgina berdering. Ia melihat nama Erfan di layar. Irgina segera mengangkat panggilan tersebut.

"Mas Erfan?"

"Maaf, kemarin aku sibuk dan tidak sempat memegang ponsel," kata Erfan dari seberang sana.

"Tadi aku menelepon ibumu dan menanyakan kabarmu. Ibumu bilang, kau baik-baik saja."

Irgina mengernyit. "Mas Erfan menelepon Ibu? Mas Erfan punya nomor ibuku?"

Sosok wanita di samping Irgina masih menatap Irgina.

"Iya, apa ibumu tidak memberitahumu?"

"Memberitahu apa?" Irgina balik bertanya.

"Aku kemarin datang ke rumah ibumu dan memberitahukan tentang kecelakaan yang kau alami. Memangnya ibumu tidak menanyakan keqdaanmu saat tadi datang ke rumahnya?"

Irgina tampak berpikir. "Jadi, Mas Erfan dan Ibu...."

"Ya, kami berbincang cukup lama kemarin. Ibumu juga memasak semur jengkol untukku. Haha, pasti sekarang kau tidak makan semur jengkol, kan? Karena kemarin aku menghabiskan semuanya."

"Kau jahat sekali," gerutu Irgina.

"Ya, meski aku sedih karena ibumu tidak memberitahukan alamatmu dan alamat perusahaanmu, tapi aku senang karena ibumu mau bicara denganku."

Irgina tersenyum sendu.

"Meski seandainya aku tahu alamatmu dan alamat perusahaanmu, aku tidak bisa datang ke sana untuk menemuimu. Aku tidak punya banyak waktu. Bahkan sekarang aku bertugas di luar provinsi," jelas Erfan.

Irgina tersenyum. "Tidak apa-apa, setidaknya kita bisa saling menghubungi satu sama lain."

"Ibumu bilang, dia baik padaku bukan berarti memberikanku restu untuk mendekatimu," kata Erfan.

Irgina tertawa. "Ibuku memang selalu bilang begitu. Aku sudah sering mendengarnya, sampai-sampai aku bosan."

Erfan tertawa. "Aku akan tetap berusaha untuk meyakinkan ibumu. Kau tidak perlu khawatir. Kau hanya perlu fokus bekerja. Jangan memikirkan hal yang hanya akan membuatmu cemas dan stres."

"Iya, aku mengerti."

Sosok bermata merah itu bergumam, "Mereka saling mengalah. Jika tidak, maka salah satu dari mereka pasti sudah terluka. Kenapa mereka seperti itu?"

🥀🥀🥀

18.29 | 1 Desember 2020
By Ucu Irna Marhamah

MISANTHROPEWhere stories live. Discover now