Bab 17. Tulus

2.6K 98 2
                                    


Selamat membaca, dan jangan lupa vote n komennya agar cerita ini tetap berlanjut, karena kalo yang ngevote cuma sedikit mungkin cerita ini akan dihentikan dan author mau fokus bikin cerita baru aja. Thanks.

Mansion Alex, dua bulan kemudian.

Malam itu, Alex sibuk berkutat dengan dokumen-dokumen penting dan laptopnya di ruang kerja. Denise menghampiri dan meletakkan sejumlah berkas.

"Selamat malam, Mr Alex."

"Ya, apa kau sudah mendapat informasi yang cukup mengenai ibuku?"

Alex meneliti isi berkas yang terdapat beberapa lembar foto ibunya di masa lalu. Matanya menyipit melihat sebuah foto ibunya bersama seorang bayi, dan sebuah data informasi mengenai kelahiran Keenan di sebuah rumah sakit yang terletak di Milan, Italy.

"Ya, saya sudah mendapatkan informasi penting mengenai nyonya," sahut Denise dengan wajah datar.

Dengan nafas tercekat dan jantung berdebar, Alex menatap tajam ke arah foto ibunya yang tengah menggendong Keenan saat masih bayi. Rahangnya menegang, giginya gemeretak menahan gemuruh di dada yang membuatnya sesak.

"Kau boleh pergi sekarang!"

Alex menutup berkas dan kembali duduk di kursi sambil menatap ke arah jendela yang menampilkan pemandangan indah jalanan kota.

"Baik, saya permisi dahulu." Pamit Denise kepada Alex lalu segera melangkahkan kaki keluar ruangan.

Tak lama berselang, Alex berteriak karena marah, ia membanting meja kayu di dekatnya dan membaliknya hingga semua benda jatuh di lantai.

Alex mengacak rambutnya kasar dan memukul kepalanya sendiri
berulang kali dengan wajah memerah menahan bendungan air mata.

Ia begitu terpukul dengan kenyataan pahit ini. Semua informasi penting yang diterima membuktikan kalau Keenan merupakan saudaranya. Alex sangat membenci bajingan itu, dan bagaimana bisa mereka ditakdirkan lahir dari rahim yang sama, namun bermusuhan bahkan saling ingin menghabisi satu sama lain sejak masih remaja?

Perasaannya bercampur aduk antara sedih, kesal, dan dendam menjadi satu membuatnya ingin membunuh siapapun sekarang juga, tapi ia ingat kalau melampiaskan kekesalan dengan cara menghilangkan nyawa orang lain yang tak bersalah bukanlah solusi terbaik. Alex berusaha menahan nafsu membunuhnya karena ia telah berjanji kepada Bella untuk berubah menjadi lebih baik dan tidak menyakiti siapapun lagi.

Tapi, apakah ia mampu menghilangkan perilaku jahatnya yang sudah mendarah daging tersebut?

Selama dua bulan, Bella selalu membimbing Alex dengan berdoa kepada Tuhan, mereka bahkan sempat pergi ke gereja setelah pulang dari rumah sakit. Bella selalu menyemangati Alex dan berkata kalau ia akan selalu berada disisinya apapun yang terjadi, asalkan ia mau berubah menjadi lebih baik dan mau memaafkan siapapun yang bersalah. Alex pun terpaksa berjanji karena ia sangat takut kehilangan Bella, meski hati kecilnya berkata lain, rasanya tak mungkin seorang Alex yang pendendam dan berjiwa psikopat dapat berubah sepenuhnya. Semua itu ia lakukan demi Bella karena wanita itu sangat sempurna baginya, dan tentu saja Alex takkan menyia-nyiakan kesempatan ini demi mendapatkan hati wanita pujaannya.

Terkadang Alex merasa serba salah karena masih menyimpan dendam kepada saudara satu-satunya itu. Alex ingin berubah sesuai permintaan Bella. Akan tetapi, mampukah ia memaafkan segala perbuatan saudaranya itu? Terlebih lagi Keenan juga merupakan keturunan Bryan, orang yang telah menghabisi nyawa kedua orangtuanya di masa lalu. Keenan juga pernah memperkosa wanita yang ia cintai, tentu tidak mudah untuk memaafkan kesalahan sebesar itu.

Alex segera berdiri dan menatap pantulan wajahnya di cermin. Seutas senyum licik terukir di wajah tampan nan sempurna bak dewa Yunani itu. Entah apa yang ia pikirkan, setelah itu ia melangkahkan kaki keluar ruangan dan menuju ke ruang perpustakaan.

My Psychopath HusbandWhere stories live. Discover now