p.r.o.m.p.t X

42 5 2
                                    

Tao selalu mendengar banyak pujian tentang dirinya ketika ia masih kecil, berusia sekitar 6 tahun yang menjadi salah satu murid di sebuah taman bermain

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Tao selalu mendengar banyak pujian tentang dirinya ketika ia masih kecil, berusia sekitar 6 tahun yang menjadi salah satu murid di sebuah taman bermain.

Beberapa guru dan orang tua teman-teman sekelasnya selalu mengatakan jika dirinya adalah anak yang pintar, tidak pernah menangis, tidak pernah berbuat onar, bahkan tidak takut saat pemeriksaan gigi atau pun vaksin tahunan.

Tao anak yang pintar, dia jarang mengeluh, jarang merengek, dan seringkali mengalah saat anak-anak yang lain iri dengan mainannya -yang dibagikan oleh guru mereka-. Atau ketika anak-anak yang lain sedang usil dan berharap dirinya menangis karena sudah diganggu.

Bahkan karena 'kepintaran'nya itu, seringkali para guru di taman bermain meminta bantuannya untuk mengawasi teman-temannya jika guru terpaksa meninggalkan kelas dalam waktu singkat.

Tao sungguh anak yang pintar dan dapat diandalkan. Dan semakin ia tumbuh besar, orang-orang di sekelilingnya menganggap dirinya adalah seseorang yang tanpa celah.

Banyak orang bergantung padanya.

Tidak hanya saat di taman bermain, bahkan ketika Tao menempati sekolah menengah awal dan sekolah menengah atas, orang-orang begitu mempercayainya dan semua itu berubah menjadi beban yang cukup berat di bahunya.

Tao bahkan tidak memiliki waktu untuk memahami dirinya sendiri yang sedikit membuatnya kebingungan.

Dia tidak bisa menangis, senang, sedih, ataupun merasakan sakit di sepanjang hidupnya.

Bahkan ketika ayahnya meninggal dunia akibat kecelakaan sepulang bekerja saat ia berusia 13 tahun, meninggalkan dirinya, sang adik dan ibunya yang ketergantungan alkohol dan sudah berkali-kali menjalani terapi, tapi selalu gagal.

Tao tidak mengerti bagaimana merasakan sebuah kebahagiaan, ia akan ikut tersenyum jika teman-temannya sedang senang akan sesuatu hal, ikut khawatir dan sedih jika orang-orang yang dekat dengannya sakit atau terkena musibah.

Tapi Tao tidak bisa berpura-pura untuk merasakan sakit saat dirinya terluka hingga mengeluarkan darah. Hal itu akan membuat siapa saja yang melihat panik, namun berbeda dengan Tao.

Jika dia terluka, ia hanya akan berdiri diam sambil memperhatikan luka yang terbuka. Tidak ada gurat kesakitan atau pun terkejut di wajahnya, seperti dia tidak merasakan apa pun, dan Tao tidak mengerti mengapa orang-orang di dekatnya sangat panik, beberapa berteriak untuk segera memanggil ambulans, sementara yang lain panik memberikan pertolongan pertama.

Tao tidak pernah memahami emosi manusia.

Hingga ia menyadari jika sesuatu di dalam dirinya tidak lah normal.

Beberapa orang bahkan memberikan julukan aneh kepadanya. Dan Tao menyadari jika dirinya tidak seperti orang-orang lain.

Ketidakmampuannya merasakan sakit adalah awal mula dari segala hal.

Dirinya adalah manusia tanpa emosi, ia bisa saja berpura-pura, tapi tidak seorang pun yang bisa mengerti dirinya.

Dan kemudian Tao mendapat jawaban atas apa yang membuatnya begitu berbeda. Ia segera memeriksakan dirinya ketika ia menerima gaji pertamanya di usia 18 tahun.

Dokter mendiagnosa dirinya mengidap Congenital Insensitivity to pain with Anhydrosis, atau lebih singkatnya CIPA.

Jawaban atas ketidakmampuannya merasakan sakit atau pun perbedaan suhu. Yang membuat emosinya tidak terolah dengan baik sejak kecil, dan membentuk dirinya yang kini seperti tanpa emosi.

"Sampai saat ini aku masih bertanya-tanya. Kenapa sejak dulu kau sering sekali terluka?"

Tao yang sejak tadi memperhatikan balutan perban di tangannya otomatis menoleh pada pria yang berjalan di sampingnya.

Pria yang beberapa senti lebih tinggi, berambut coklat, dan kini dengan alis tertekuk menatap padanya, mencari jawaban.

Tao mengangkat bahu. "Mungkin keberuntunganku sangat buruk"

"Bagaimana kalau kita memeriksakannya? Bisa saja adalah yang salah dengan syaraf di tubuhmu atau apalah itu"

Tao tertawa kecil mendengarnya. "Kau terlalu berlebihan, Kris-ge. Daripada itu, kenapa gege masih ada di sini? Bukankah gege bilang kalau harus kembali ke kantor?" Satu alisnya terangkat naik.

"Nah, aku tidak mungkin pergi begitu saja saat kau terluka seperti ini. Tidak apa, jangan khawatirkan hal itu" Kris meletakkan satu tangannya di kepala Tao, lalu memberi usapan kecil di rambutnya.

Sesampainya di mobil, Tao tak lupa mengenakkan sabuk pengamannya saat Kris menghidupkan mesin dan mereka siap meninggalkan area Rumah Sakit.

"Aku akan mengantarmu pulang" Ucap Kris.

"Tidak ge, aku masih ada kelas, turunkan aku di kampus saja"

"Kau baru saja terkena musibah, Tao. Bagaimana kau bisa menghadiri perkuliahan dengan kondisi tangan seperti itu? Sebentar lagi efek obat pereda nyerinya akan berkurang"

Tao tersenyum kecil, "Tidak apa ge, lukanya sudah tidak sakit lagi"

Kris menghentikan laju mobilnya bertepatan dengan lampu lalu lintas yang berubah merah, ia berpaling pada Tao dan ekspresi wajahnya berubah dipenuhi kesedihan. Hal itu membuat Tao yang sedang mengisi waktu sambil mengamati jalanan pun menoleh ke arah kursi kemudi.

"It's been a long time, but you never changed. If i didn't have to follow my parents to move at that time, maybe i could accompany you when you were hurt"

Tao dibuat terdiam oleh ekspresi sedih Kris dan sorot matanya yang sangat jujur. Pria yang lebih tua tiga tahun darinya itu benar-benar tulus mengatakannya, hingga membuatnya tak tahu harus mengatakan apa.

Karena Kris tidak akan bisa diyakinkan dengan kalimat 'aku baik-baik saja' atau sejenisnya.

Bahkan sejak dulu, saat ia masih kecil, pertemuan pertamanya dengan Kris adalah saat dirinya terjatuh dari ayunan dan membuat lutut serta telapak tangannya terluka, Kris lah yang membantunya dan mengantarnya pulang, dan baru benar-benar pergi saat memastikan dirinya baik-baik saja.

Sejak saat itu mereka menjadi teman, hingga suatu hari Kris tidak pernah muncul untuk bermain lagi dan rumahnya dalam keadaan kosong.

Tao pikir dirinya tidak akan bertemu dengan Kris lagi. Tapi sepertinya Tuhan masih memperdulikannya dengan mempertemukan dirinya dengan seseorang di masa yang lalu yang peduli padanya.

Tao tersenyum lagi, bukan sebuah seringai atau senyum jahil.

"Aku sungguh baik-baik saja, Kris-ge"

Semoga saja itu benar.

p. r. o. m. p. tWhere stories live. Discover now