Part 70

3K 334 63
                                    


Jalanan yang basah dan dingin mungkin menjadi alasan sebagian besar orang enggan keluar. Aspal yang tergenang menjadi bukti tingginya intensitas guyuran air sebelumnya. Seolah tak puas, langit masih meneteskan air, merata di seluruh penjuru kota.

Mengabaikan fakta apabila hujan sedang turun dan malam yang sudah semakin larut, seorang gadis berjalan menyusuri gang di area pemukiman pinggiran ibukota. Jaket dan jeansnya basah akibat hujan. Hoodie dan cap topinya menyebabkan wajahnya tertutupi bayangan. Yang pasti, kulitnya tampak pucat.

Sosok itu tampak tidak peduli dengan sekitarnya. Namun, siapapun yang bisa melihatnya dari dekat dapat melihat kekhawatiran dalam sorot matanya. Beberapa kali, ia menoleh ke gang-gang kecil disekitarnya. Bahkan, napasnya juga dihembuskan perlahan, seolah takut keberadaannya terungkap.

Langkah kaki itu melambat saat merasakan seseorang mengikutinya dari belakang. Tanpa menoleh, ekor matanya menangkap seorang pria yang berjalan pelan dibelakangnya. Langkah kaki pria itu teratur mengikuti irama langkahnya, seolah sengaja menjaga jarak darinya agar tidak terlalu dekat ataupun jauh.

"I got her,"

Mendengar ini, gadis itu mempercepat langkahnya. Seolah menghapal rute jalan di wilayah itu, ia beberapa kali mengubah arah, memasuki gang-gang kecil lain. Seolah tidak cukup, badan rampingnya sesekali menyelinap di jalan sempit samping rumah warga. Kewaspadaannya menurun saat menyadari tidak ada yang mengikutinya. Namun, baru saja ia keluar, telinganya menangkap suara langkah dibelakangnya, sebelum semuanya berubah gelap.

"Akhirnya bangun?"

Ia menundukkan kepala saat seberkas cahaya jatuh di matanya. Cukup beradaptasi, ia mengangkat kepalanya dan menatap sekelilingnya. Banyak lemari dan barang-barang di ruangan itu. Tidak ada seorangpun disana selain seoseorang dengan hoodie yang duduk di depannya. Di belakangnya, ada seorang gadis yang berdiri bersandar pada pilar.

"Gimana? Gue denger, lo putus dari Shani? Lo diputusin karena dia takut kena imbasnya, atau karena dia udah ada yang baru?" tanya sosok yang duduk di kursi, "Gracia Avlon, kenapa lo menghindari gue? Lo gak tau berapa banyak uang yang harus gue keluarin cuma demi ngobrol 4 mata sama lo? 6 sih, bukan 4,"

Gadis itu, Gracia, menatap sekilas pada teman kuliahnya sebelum menunduk. Ia melihat tangan dan kakinya yang di rantai. Setidaknya, walau basah, pakaiannya masih utuh. Setelah memastikan tidak ada yang salah dengan tubuhnya, ia mengangkat kepalanya. Tatapannya kali ini tertuju pada sosok yang bersandar pada pilar dengan tangan yang dimasukkan pada saku jaketnya. Bukannya menghindar, ia menatap lurus pada Chika yang juga menatapnya. Entah apa yang dipikirkan sosok ini.

"Kenapa lo liatin cici gue? Dicampakin Shani, lo mau sama dia?"

"Shani," gumam Gracia saat mendengar nama itu disebutkan lagi. Sudah cukup lama dia tidak melihat kesayangannya itu, "Lo bisa gak nyebut nama itu lagi gak? Capek gue dengernya,"

Yang diucapkannya bukanlah kebohongan. Hatinya sudah terlalu lelah. Bukannya apa, ia tidak ingin menangis disini karena terus menerus teringat Shani. Sebuah kebodohan untuk pergi dari rumahnya waktu itu. Namun, kebodohan yang lebih besar lagi jika ia tetap tinggal, mengingat konflik rumit antara ia, Shani, dan keluarganya.

"Oh? Kamu yakin? Kenapa? Kamu mau ngelindungi dia biar gak ikutan kena? Sok banget," cibir Chika yang sejak tadi hanya diam. Tanpa menatap Gracia, ia berbalik menuju pintu, "Lakuin yang kamu mau. Aku balik dulu,"

"Shani...," gumam sosok yang duduk di depan Gracia, Ara. Ia termenung sejenak sebelum melepaskan hoodienya. Senyum manisnya terbit sebelum bangkit dari duduknya, "Gue penasaran dia bakal semarah apa kalo dia tau gue nyentuh lo, Gracia. Lo penasaran gak?"

SGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang