Part 56

5.3K 402 81
                                    

Malam berlalu. Dering ringan ponsel terdengar samar di sebuah ruangan yang ditempati seorang remaja yang baru selesai menggosok gigi. Ia menatap miris pada ponsel rose-gold yang ia peroleh dari kesayangannya tepat di hari perpisahan mereka. Disampingnya ada ponsel terbaru yang ia peroleh sebagai ganti seluruh alat komunikasinya yang dipaksa untuk tetap tinggal di rumah.

Dengan sedikit terpaksa, Gracia mereject panggilan itu, menggantinya dengan mengirimkan sebuah pesan pendek, sebelum membuka laptopnya. Ada beberapa hal yang harus diselesaikan segera. Disaat ia baru akan membuka file, ponselnya kembali berdering. Kali ini sebuah panggilan video masuk. Jika seperti ini, mau tidak mau ia mengalah dan menerima panggilan itu

"Tadi katanya bisaaa," gerutu Shani yang mengenakan piyama. Gracia berpikir sejenak. Jika di tempatnya masih pukul 12 malam, artinya, di Jakarta seharusnya sudah pukul 5 pagi.

"Kenapa sampe vid-call?" tanya Gracia. Ia tertawa pelan saat melihat ekspresi kesal Shani.

"Kemaren sekretarisnya Andreas ke kantor. Katanya mau kasih berkas kontrak. Itu ulah kamu kan?" tanya Shani dengan pelan. Ia menatap Gracia yang tidak fokus kepadanya, melainkan sesuatu lainnya, "Kamu lagi ngapain sih?"

"Oh, bukan. Dari Ikha itu,"

"Tapi yang bisa nyuruh dia kan cuma kamu! Ngeselin banget deh,"

"Kalo udah tau ngapain tanya sih?"

"I just wanna talk with you, actually. But, it seems like I am bothering you. Maaf kalo ganggu,"

Gracia mengumpat saat Shani memutus panggilan mereka. Disaat yang sama, Gracia menutup laptopnya dengan kuat. Ia tidak lagi peduli jika harus membuang uang untuk membeli laptop baru. Belakangan ini, emosinya sangat rapuh.

Gracia berpindah menuju ranjangnya. Dengan badan tertutupi selimut, ia mencoba menghubungi Shani kembali. Namun, tidak ada satupun dari panggilannya yang mendapatkan respon. Semuanya berubah menjadi missed call.

Tidak kehabisan akal, Gracia mencoba menelpon salah satu nomor yang ia hapal selain nomor Shani, mamanya, dan papanya; nomor ponsel Shania. Umpatan pelan keluar dari mulutnya saat panggilan yang ia lakukan tidak mendapat respons. Dengan mata memerah, ia membenamkan wajah di bantalnya. Suara tarikan ingus samar terdengar. Bawaan pilek karena suhu minggu ini yang berkisar antara -4 hingga 10°C menjadi semakin parah karena keadaan hatinya yang kurang baik.

"Halo, who is this?"

"Hallooooooo?"

Gracia mengangkat wajah saat ia mendengar suara serak kakaknya. Baru saja akan angkat suara panggilan itu terputus. Namun, dengan cepat dirinya menghubungi ulang nomor Shania. Setelah cukup lama menunggu, panggilan itu terhubung.

"Who is th-"

"Kasihin ke Shani," ucap Gracia dengan pelan.

"Greeee? Ish lo kok-"

"Kasihin ke Shani," ulang Gracia, kali ini disertai tarikan ingusnya.

"Lo ganggu tidur orang cuma buat nyariin Shani. Bentar,"

Gracia menatap layar ponselnya dengan perasaan bercampur aduk. Ini adalah bulan keempatnya berada di Swiss. Selama ini pula selain kegiatan sekolahnya, ia lebih berfokus pada perusahaannya dengan Andreas, RedFin. Ekspansi besar-besaran RedFin ke Asia dapat dikatakan berjalan dengan mulus. Selanjutnya, ia berencana melakukan ekspansi ke Eropa di akhir tahun ini.

"Woy, Nom, liat Shani gak?"

"Hngg. Gak tau. Tadi keluar,"

Gracia hanya diam mendengarkan seluruh percakapan yang tersampaikan kedirinya. Ia berdoa dalam hati supaya Shani tidak marah dan mendiamkannya. Perutnya yang bergemuruh ia abaikan dan memilih menanti kelanjutan pencarian Shani oleh Shania.

SGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang