Part 1

29.8K 1.1K 1.6K
                                    


Pagi kali ini berbeda, bukan sinar matahari yang hangat, namun sinar menyengat yang datang menyapa. Entah mengapa, hampir seluruh murid di salah satu sekolah swasta elite itu berharap muncul awan berwarna hitam atau setidaknya putih di langit guna menghindarkan mereka dari sengatan sinar yang seharusnya menyehatkan kulit. Beruntungnya, halaman luas sekolah itu ditanami banyak pohon. Setidaknya cukup meneduhkan para siswa yang berjalan kaki di bawahnya.

Hal yang tak jauh berbeda nampak dalam salah satu kelas yang terletak di lantai puncak, Kelas 7-A. Seorang guru berparas cantik yang menerangkan pelajaran hanya bisa memaklumi kelas unggulan yang kali ini nampak kurang kondusif, ah tidak, sangat tidak kondusif lebih tepatnya.

Beberapa siswi melepas slayer, pengganti dasi bagi siswi, yang melingkar di leher mereka dan menggunakannya sebagai bando. Sedangkan siswanya sendiri lebih parah. Beberapa bahkan melepas kemeja putih seragam mereka yang menyebabkan mereka hanya mengenakan kaus rumahan. Aroma khas keringat, parfum, dan pengharum ruangan tercium memenuhi ruangan yang cukup luas itu.

"Bu Fries, ini AC nya rusak ya? Gak dingin banget ini. Padahal udah bayar SPP mahal-mahal juga. Kenapa AC nya gak diperbanyak aja sih," protes sang ketua kelas, Okta, yang memang mendapatkan tempat duduk tepat di bawah AC yang seharusnya merupakan tempat paling dingin di kelas. Siswa lain pun mengiyakan pertanyaan Okta dengan berbagai macam gaya.

"Enggak rusak juga, Okta. Cuacanya aja yang kelewat panas, jadi enggak kerasa AC nya," jelas guru pengajar IPA itu tanpa menghentikan tangannya yang mengipas wajahnya dengan kipas kecilnya.

"Bu Pris, Gre gak bisa mikir kalo panas gini. Ini tugasnya dikumpulin besok aja loh, bu. Ya ya ya?" keluh seorang murid yang duduk di pojok, Gracia.

Celotehan gadis berparas rupawan yang kini wajahnya dibanjiri keringat menarik perhatian guru muda itu. Sebenarnya, sang guru juga tidak lagi sanggup berdiam di tempat super gerah itu. Terlebih letak ruangannya yang berada di lantai paling atas, menyebabkan hawa panasnya lebih luar biasa daripada ruang kelas di lantai 2 dan lantai 1. Sudah dipastikan pula, kelas akselerasi saja sampai mengeluh dan ingin berhenti dari jam pelajaran, bagaimana dengan kelas lainnya? Lebih parah.

"Ya sudah, iya. Pelajaran hari ini sampai disini saja. Tugasnya dilanjutkan dirumah, ya. Pagi,"

"Pagi, bu," jawab ke 26 murid kelas itu dengan kompak.

Keluarnya Bu Frieska, yang tak lain juga wali kelas mereka, membuat suasana menjadi lebih tidak terkendali. Sebagian besar murid langsung keluar dari dalam kelas menuju ke salah satu dari tempat keramat yang suhu ruangannya disebut paling dingin sesekolah, perpustakaan. Tetapi sebelum murid-murid itu keluar dari kelas, sang ketua kelas memberikan petuahnya.

"Gaes, ini kan panas banget ya. Kalian mau ngadem ke perpus?" tanya Okta yang diangguki murid yang lain, "tar kalo ditanyain bilang aja kita cari referensi tugas ya,"

"Gampang itu mah. Serahin sama kita-kita. Lo tulis aja dipapan, kasih note buat guru selanjutnya," ucap seorang siswa yang kini mengenakan kembali kemeja putihnya, Frans, "bilangin, kita minta tugas aja. Lagian kita udah pinter kan? Biar kosong gitu sampe ntar pulang,"

"Bener tuh, Ta. Kita bakal pindah markas ke perpus. Istirahat doang tar baru ke kantin," celetuk Natalia yang sudah berada diambang pintu.

Okta yang mengangguk seolah menjadi tiket bagi mayoritas murid untuk keluar. Kini hanya ada Gracia, Elaine, dan Okta sendiri di dalam kelas. Keberadaan dua sahabatnya itu membuat Okta heran. Ia tahu jika kedua gadis itu memiliki sensitivitas panas yang tinggi, terutama Gracia, sehingga dapat dikatakan keduanya lebih baik berada di kutub dengan tanktop dan hotpants daripada berada di Jakarta dengan pakaian yang sama.

SGWo Geschichten leben. Entdecke jetzt