Special : Jilan's New Life

1.8K 133 12
                                    

Note : Otak randomku kepikiran bikin part ini, plus mengatasi rasa rinduku buat Jilan hehe... semoga kalian juga suka. Ada yang kangen Jilan juga kaya aku?

HAPPY READING💗
___________________________________

Jilan bergegas memakan sarapannya.

"Pelan-pelan nak Jil...," peringat bi Mina.

"Bwuru-bwuru bi... uhukk," Jilan tersedak roti yang sedang ia kunyah.

"Tuh kan," bi Mina menyerahkan gelas berisi air mineral pada Jilan dan langsung diteguk habis oleh Jilan sembari menepuk dadanya.

"Pelan-pelan Jilan... jangan ditepuk terlalu keras dadanya," ujar Jafar yang baru saja datang dengan pakaian formalnya.

Jilan mengangguk.

"Buru-buru kenapa sih?" tanya Jafar.

"Ini hari pertama ospek, yah," jawab Jilan.

"Ah...ayah ngerti, tapi tetep aja jangam bahayain diri kamu. Udah tau kamu ceroboh," Jafar memperingatkan sekaligus mengejek.

Jilan tersenyum dengan pipi menggembung.

"Ayah ga percaya kamu ini calon mahasiswa... bisa-bisa kamu diusir karena mana bisa bayi masuk ke kampus," goda Jafar.

"Ayah..."

Jafar dan Bi Mina tertawa melihat Jilan yang merengek. Semakin lama Jilan semakin menunjukkan sifat manjanya. Meski sempat sesekali berdebat dengan sang ayah, tapi untungnya semuanya diselesaikan dengan baik. Termasuk keputusan Jilan yang berkuliah. Awalnya Jilan mendapat beasiswa berkuliah di Belanda. Namun, Jafar bersikeras menentangnya dan dengan lantang mengatakan jika dirinya lebih mampu membiayai kuliah Jilan lebih baik. Awalnya Jilan juga ikut bersikeras menerima beasiswa itu. Sampai akhirnya...

Jilan mendiamkan sang ayah sejak perdebatannya tentang kuliahnya siang tadi. Tidak ada percakapan hangat yang biasanya terjadi saat makan malam. Yang ada hanya dentingan sendok yang bertabrakan dengan piring.

"Aku selesai," ujar Jilan sembari bangkit dan meletakkan piringnya ke wastafel.

"Jilan," panggil Jafar. Jilan menoleh ke arah sang ayah.

"Dateng ke ruangan ayah, ada yang perlu kita bicarakan," ucap Jafar sembari berjalan mendahului Jilan.

Jilan menghembuskan napasnya, rasa takut yang selama ini bersembunyi kembali timbul. Mengingat setiap kali sang ayah memanggilnya ke ruang kerja, itu berarti hukuman menunggunya.

Ceklek

Jilan masuk dengan langkah pelan.

"Ayah minta maaf," langkah Jilan terhenti mendengar ucapan Jafar yang saat ini sedang membelakanginya.

"Maaf... karena ayah menghalangi mimpimu. Ayah tahu itu peluang yang besar dan bahkan hanya bisa terjadi sekali seumur hidup. Tapi ayah takut, ayah masih terlalu takut untuk ngelepas kamu pergi ke negeri orang. Semua ketakutan itu terus berputar di otak ayah, Jil... cukup dengan kepergian Jinan sama bunda yang buat ayah ngerasa kesepian. Kamu jangan... cuman kamu yang ayah punya. Ayah ga pernah siap melihat kamu pergi, meski cuman ke negeri orang," jelas Jafar.

Napas Jilan tercekat mendengar ucapan sang ayah. Jadi, selama ini ketakutan itu masih menghantui sang ayah.

"Ayah benci perpisahan... itu kenapa dulu ayah ga bisa mengontrol diri sendiri dan berakhir nyakitin kamu baik secara sadar maupun ngga," ucap Jafar. Ia menarik napasnya sebelum melanjutkan ucapannya, "kamu tahu, kebodohan ayah di masa lalu benar-benar adalah penyesalan terbesar ayah. Membiarkan diri ayah semakin terpuruk tanpa berpikir kalau kamu juga masih membutuhkan sosok ayah. Bahkan dengan kebodohan ayah itu, ayah hampir kehilangan kamu..."

Jilan Minta Maaf, AyahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang