8. Petaka Kana

8.6K 1.1K 83
                                    




Wajah Asih berubah masam karena pihak penyalur membatalkan pekerjaan untuk Kana. Mereka beralasan bahwa pemilik warteg tidak mau menerima pekerja di bawah umur seperti Kana. Mereka tidak mau terlibat dalam masalah apapun ke depan nantinya.

"Tapi kalo Ibu mau ... ada lowongan pekerjaan yang sama di tempat lain," ujar pimpinan penyalur ART sambil melirik sinis ke arah Kana yang duduk di sebelah mamanya. Sepertinya dia tidak suka dengan penampakan Kana. Kana yang tahu diri tidak membalas tatapannya.

"Gajinya lumayan besar karena ini adalah warteg dengan banyak cabang. Tapi lokasinya jauh di Jakarta Barat. Kalo ibu mau ya ... mau nggak mau anak ibu ini harus tinggal di sana. Nanti pulangnya pas liburan hari raya, hm ... setahun sekali,"

Bukannya sedih, Asih malah mendadak sumringah. Dia pegang tangan Kana seolah ingin Kana menerima pekerjaan itu. Terbayang gaji Kana yang besar dan dia bisa mendapatkannya setiap bulan.

"Kerjanya tetap bersih-bersih dan rapi-rapi, Mbak?" tanya Asih dengan mata berbinar-binar.

"Ya. Sama aja. Tapi nanti kalo disuruh pemiliknya bantu-bantu kerjaan lain ya harus dikerjakan, kayak motong-motong sayur, masak, belanja sayur. Pokoknya nurut aja,"

Asih menoleh ke arah Kana yang diam.

"Mau kan, Kana?" tanyanya.

Kana mengangguk dengan senyum tipis.

Asih menghela lega.

"Besok pukul sembilan sudah harus ada di sini. Jangan sampai terlambat atau nanti malah ketinggalan berangkatnya,"

"Baik, Mbak," ujar Asih semangat sambil merangkul bahu besar Kana.

_____

Kana pulang ke rumah dan masuk ke kamar Uwak Ita dengan wajah murung. Dia membayangkan hidup sendirian jauh di Jakarta. Lebih baik tetap tinggal bersama Uwak Ita dan mamanya, walaupun dia mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan. Daripada tinggal di tempat yang jauh dan kembali pulang setahun setelahnya.

Tapi mengingat wajah mamanya yang penuh harap, Kana tidak bisa menolak dan tidak bisa berbuat apa-apa selain menerimanya.

Ah. Kana merasa benar-benar terbuang. Tapi dia tetap tidak membenci mamanya dan terus berusaha membuang perasaan itu. Apalagi mamanya terus membujuknya dan mengatakan bahwa dia membutuhkan uang untuk keperluan hidupnya sehari-hari.

Uwak Ita sangat sedih dengan kabar ini. Dia menangisi nasib Kana. Uwak Ita juga tidak kuasa menahan keinginan Asih untuk mempekerjakan Kana.

"Lebih baik begitu, Wak. Aku jadi nggak punya beban untuk mengurusnya. Apalagi mikirin jodoh buat dia. Masa aku nanti sampai tua tinggal sama dia terus-terusan. Setiap hari harus melihat dia lagi dia lagi,"

Uwak Ita diam saja. Dia pun berpikir bahwa Kana memang lebih baik berjauhan dari mamanya. Semakin hari hidupnya semakin sulit, apalagi dengan hadirnya anggota baru di rumah Asih. Sepertinya memang tidak ada ruang untuk Kana.

"Kamu cari duit yang banyak. Jangan mau diakalin Mama kamu. Sisihkan uangnya untuk ditabung. Uwak juga akan berhemat. Nanti Uwak susul kamu, kita sama-sama pergi dan sama-sama kerja,"

"Katanya Uwak mau kerja di warung Kak Yuna nanti,"

"Cih. Warungnya mana? Masih rencana ... rencana ... nggak ada kepastian. Sibuk berduaan melulu di kamar,"

Kana hela napas panjang sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling kamar Uwak Ita yang sempit. Dia memang harus pergi.

_____

Sore itu ada kabar duka. Seorang tetangga dekat mengalami musibah kehilangan. Uwak Ita dan Asih langsung bersegera berkunjung melayat. Rumah pun jadi 'kosong'. Kosong karena Yuna dan Raka yang selalu berdiam diri berdua di kamar depan dan Kana yang sendirian di kamar Uwak Ita.

Kana sibuk merapikan baju-baju yang akan dia bawa besok. Dia tidak lupa akan pesan Uwak Ita agar membawa serta akta lahir, ijazah SD dan SMPnya. Uwak Ita berpesan agar Kana rajin menabung dan siapa tahu berniat melanjutkan sekolah di Jakarta. Uwak Ita ingin Kana pandai mengatur waktu dan menikmati hasil kerja kerasnya di Jakarta, sehingga Kana bisa belajar sambil bekerja.

Kana tersenyum tipis mengingat kata-kata semangat dari Uwak Ita, bahwa Jakarta adalah kota besar dengan penduduk yang sangat banyak. Ada banyak sekali kesempatan untuk Kana menggali potensi dirinya di sana. Uwak Ita ingin Kana tidak patah semangat. Kana adalah anak yang mandiri sejak kecil dan sanggup hidup sendiri. Uwak Ita tidak bosan meyakinkan Kana.

Kana menghela lega. Tasnya sudah penuh dengan pakaian dan barang-barang yang dia butuhkan selama di Jakarta.

Tiba-tiba terdengar pintu kamar diketuk. Tanpa pikir panjang Kana langsung beranjak dari duduknya dan membuka pintu itu.

"Ha?"

Kana terkejut bukan main.

Ternyata Raka yang mengetuk pintu kamar dan bukan Uwak Ita.

Raka langsung masuk ke dalam kamar Uwak Ita dan menguncinya.

Dia buru tubuh Kana dan memeluknya kuat-kuat.

"Kamu cantik. Cantik ... cantik. Semok ... semok. Aku suka. Kamu wangiii...." desah Raka sambil meremas-remas lengan Kana.

Kana terkesiap. Sangat kaget. Dia berontak sekuat tenaganya saat Raka memburu lehernya.

"Jangaaaaan. Toloooong!" teriak Kana.

Raka yang geram. Langsung membungkan mulut Kana. Dia keluarkan pisau dan menghunusnya ke dekat wajah Kana.

"Jangaaaaaann. Aku mohoooon...."

Kana benar-benar pasrah dengan keadaannya.

Sambil terus memegang pisau, Raka dorong tubuh Kana hingga rebah terlentang di atas dipan Uwak Ita.

Raka terlihat sangat bernafsu saat menatap tubuh gendut Kana. Matanya berkilat-kilat melihat paha besar Kana yang hanya tertutup celana pendek.

Raka dekati paha Kana dan mengendusnya.

Kana sangat ketakutan, karena pisau masih dipegang Raka.

Raka juga memainkan pisaunya di atas perut Kana.

"Ooooh. Gembrooootnyaaaaa...."

Raka yang sudah dikuasai napsu birahi memuncak menurunkan paksa celana pendek Kana. Dia tersenyum lebar melihat pangkal paha Kana.

Raka lalu menindih tubuh Kana.

Kana gemetaran saat ditindih Raka. Dia menangis sejadi-jadinya. Takut sekali dengan pisau yang dipegang Raka.

"Jangan takut. Aku bisa romantis dan baik...."

Raka dekatkan wajahnya dan mencium-cium leher Kana.

"Aku tampan kan? Kamu suka kan...."

Kana semakin ketakutan. Tapi dia terus berusaha menguasai dirinya sambil sesekali melirik pisau yang dipegang Raka.

Raka masih dengan senyum seringainya melihat Kana yang ketakutan. Dia tampak menikmati wajah ketakutan Kana.

Raka yang menduga Kana pasrah dengan keadaan, meletakkan pisaunya di samping tubuh Kana, lalu melepas baju kausnya dengan cepat, ingin segera menuntaskan hasratnya.

Namun Kana dengan sigap meraih pisau dan menggigit kuat lengan Raka yang mendekap bahunya.

Raka hendak mencekiknya. Tapi Kana yang bertubuh besar sangatlah kuat. Tubuh Kana yang lebih tinggi ternyata bisa menguasai tubuh Raka yang lebih kecil. Kana dorong tubuh Raka kuat-kuat. Lalu dengan cepat dia turun dari dipan dan berdiri tegap sambil mengacungkan pisau ke arah Raka.

"Buka pintu! Ke luar Kamu!!" pekik Kana dengan suara paraunya.

Raka hampir memburunya lagi, namun dengan cepat Kana gores tangan Raka dengan pisau hingga darah mengucur dari lengannya. Kana tidak takut apa-apa lagi.

Kini malah Raka yang ketakutan. Kana sudah mulai mengamuk. Dia putar-putar pisau dengan wajah menggeram penuh amarah yang teramat sangat.

"Pergiiiiiii!!"

Hampir saja Kana menyerbu Raka dengan pisau, Raka dengan cepat memburu pintu, dan membukanya dengan tangan gemetar.

_____

KANATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang