Bab 3 : Dipikir-pikir, malah kepikiran

269 62 53
                                    

Betapa manisnya interaksi antara anak dan seorang ayah yang baru perbaikan dikarena insiden kebakaran kemarin. Berbekal uang seadanya di dompet, Nadi membawa anaknya pergi ke sebuah minimarket di sebrang jalan.

Meskipun terkesan masih amatiran alias tegang saat menggendong mahkluk mungil itu. Modal nekat saja yang penting gas aja yakan. Lagipula sumpek di rumah mana si kecil menangis terus.

Bi Zea sedang pergi keluar, rasanya Nadi tak perlu memikirkannya. Mungkin Tuhan sudah menyiapkan hal mengejutkan lain, yang lebih indah selain ini?

Susunya masih ada. Namun memang benar hampir habis, lalu mengapa dia tetap menangis? Nadi mengacak rambutnya berpikir ia melakukan kesalahan. Sementara orang-orang di dalam merasa tergangu karena tangisan si kecil.

Astaga, baru diajak baikan sehari. Di hari pertamanya si ayah sudah harus menanggung malu. Tapi tak apa, Nadi tetap berusaha tenang meskipun beberapa karyawan minimarket menatap sinis, khususnya kaum laki-laki.

"Sayang. Diem dulu, Ayah malu dilihatin orang tuh," bisiknya pelan.

Sampai si ayah pemilik satu anak kalang-kabut bolak-balik sambil menunjuk jajanan yang biasa dibeli anak-anak. Bukan salahnya, karena jelas Nadi belum paham betul bayi umur empat bulan ini hanya dari tangisan.

"Mau jalan ke mana??" Saat diajak jalan pertama kali padahal si kecil sempat terdiam keliahatan senang dan sekarang sang ayah bingung kesalahannya di mana.

"Eh, kebetulan banget ya." Suara siapa? Nadi tersentak pelan ketika berbalik badan, mata sayunya memandang lurus gadis remaja yang baru melepas masa SMA-nya.

Ia tau bukan karena hubungan mereka terjalin dekat. Hanya saja bisa dihitung dari awal mereka kenalan saat jaman si gadis masih menduduki sekolah menengah pertama, sedangkan cowok itu sendiri baru menginjak awal semester.

"Hmm, tapi katanya kebetulan itu mah sekali dua kali. Bukan berkali-kali kan?" katanya mengedipkan mata, oh mengapa si mantan jadi wanita penggoda sekarang?

Nadi memutar bola matanya tampak tak peduli. Lagipula bicaranya bertele-tele. Mel sedang menatap dalam wajahnya meski tampak diabaikan, mengikuti ke mana duda itu pergi. Sementara ia masih menanggung malu karena anaknya tak berhenti menangis juga.

"Dasar cowok bego. Bener-bener nggak ngerti bayi lo ya?" selidik Mel remeh. Kepalanya hampir menabrak jidat Nadi saking seriusnya.

"Kalau nggak ada niatan bantu mending nggak usah ke sini," decihnya.

"Heh!" Mel kaget langsung menahan cowok itu. "Anak lo nangis, mau di biarin?" Nadi mengerutkan dahi.

"Ini nih." Mel menggeretnya ke rak bagian paling belakang langsung menemukan yang ia cari. Popok bayi? Memang bego. Apa yang dipikirkannya sejak tadi?

"Popoknya tuh penuh. Bego banget sih."

"Y-ya ya, makasih. Tapi gue nggak butuh bantuan lo."

"Dih?! Songong banget ni duda paling iye sejagat raya. Kalau emang bego mah bego aja nggak usah pake ngeless."

Bayinya diambil alih dengan lembut. Meskipun begitu tetap mengejutkan. Lalu membawanya ke belakang, toilet mungkin? Nadi menggaruk kepalanya mendadak dongkol kayak orang tolol.

Tak lama, Mel kembali langsung menyombongkan diri. "Gue kasih tau ya. Bayi itu cuman bisa nangis, kalau lonya aja jadi orang nggak pekaan ya makin susahh."

Saat ini. Di tempat ini sebenarnya Nadi hampir tergelak geli. Memerhatikan Mel berbicara sangat songong dan sok serba tau. Walaupun memang pantas diakui kepekaannya karena dia perempuan.

"Senyum lo aneh. Gue nggak suka." Ungkapan Mel selalu di luar dugaan. Tapi memang benar senyumnya tadi sengaja terlihat meremehkan.

"Jadi gimana?" lanjutnya nyengir. "Kapan gue bisa jadi pacar lo?"

Nadi dan Tuan Putrinya [c𝘰𝘮𝘱𝘭𝘦𝘵𝘦𝘥]Where stories live. Discover now