Bab 26 : Raga tak bernyawa

96 16 30
                                    

Bukan hanya hati dan pikiran yang kacau. Tapi fisiknya melemah dan mulai lelah. Entah mengapa sekarang berpikir tak ada gunanya menangis di depan batu nisan tanpa sepatah pun keluar jawaban.

Menyimpan setangkai bunga dan surat tertulis. Nadi mendesah pelan memandang jelas keseluruhan alam di sekitar, bersama pemandangan batu nisan yang berjajar menunggu seseorang datang.

Cukup di hitungan pertama mampu meruntuhkan tegar diri kala berdiri menerjang gerimis bersama hati yang kerap kali patah sebab ditinggalkan tanpa berpamitan. Ia dapat mengingat kapan terakhir kali dirinya menunjukkan kelemahan di hadapan perempuan.

Ia membawa hadiah untuk gadisnya, jauh di sana. Bersama bintik-bintik air terjatuh di pipi mengungkit kenangan luar biasa indah. Nadi tidak pernah menyia-nyiakan istrinya tapi mengapa takdir tetap sekejam ini?

Memaksanya menghadapi lika-liku cerita sendirian. Semua rancangan masa depan yang diuraikan betul-betul menghilang dalam sekejap mata.

Memang benar Nadi tak punya hak marah terhadap Tuhan. Segala bentuk penyesalan jika disuarakan berjuta kali pun akan gugur bila manusianya lebih dulu lenyap dari kehidupan.

Nadi meletakkan setangkai bunga mawar yang telah disiapkannya sebelum tidur. Serta rentetan aksara yang meninggalkan bekas di hati insan, biarpun pendamping hidupnya pergi untuk selama-lamanya.

"Apa?" Bagai orang tak waras. Ia berbicara dengan batu. "Aku bisa apa?" Lambat laun tawaan renyahnya seketika berubah menjadi tangisan tertahan.

"Aku cuma butuh kamu, Mel-isa. " Menjadi rahasia pribadi pasangan suami istri itu. Nadi memangil Lisa dengan sebutan yang sama sejak awal bertemu. Tetapi, Lisa pun tidak sanggup dianggap Mel.

Terlampau muak menunggu turun keajaiban mustahil di dunia. Kini berdiri bagai raga tak bernyawa, sebatas rasa sakit di hati, serta fisik ia abaikan. Tak ada apa-apanya baginya yang sudah terlanjur terbiasa.

Melisa, dan Melea. Mereka orang yang berbeda, sampai sekarang pun Nadi menyadarinya. Hanya saja kecintaan dan kerinduan terpendam terkadang memaksa melupakan fakta tersebut.

"Maaf, hari ini aku nggak akan bilang kangen lagi. Kamu bisa baca itu sebagai gantinya." Kedua, meletakkan surat itu perlahan seolah-olah masih tak rela jika berakhir hancur dibahasi hujan.

Selanjutnya ia termenung lalu memanjatkan do'a. Tak memedulikan badan dan bajunya mulai basah kuyup. Saat membuka mata tiba-tiba di depannya ada sesosok anak kecil terlihat menadahkan tangan. Sedang dirinya, yang masih melipat jari-jemarinya. Tertegun sesaat.

Ia mencoba meneliti jeli ke sana-kemari, nampaknya tak ada siapapun, selain mereka di sana. Sehingga dapat dipastikan adik itu datang sendiri tapi tetap terlihat tenang tanpa wajah dan mata memerah.

Sengaja menunggunya selesai baru Nadi berani mendekat kemudian jalan berdampingan. "Dek?" tegurnya malu-malu. Untungnya yang ditegur langsung merespon.

"Iya, Kak?" Antara senyuman sangat polos atau berusaha tangguh.

"Ke sini sendiri?"

"Tuhh, pake sepeda." Mengangguk meng-iyakan lalu menunjuk di mana sepedanya terparkir.

"Kakak ngapain di sini?" Cara bicaranya bahkan masih cadel, dia menuduk fokus pada jalan. Nadi sebenarnya tak menyangka akan ditanya begitu.

"Hm, kamu sendiri?"

"Mau ketemu Mama," katanya tersenyum senang. Nadi mulai bertanya-tanya dalam hati apakah di umur segitu dia sadar ibunya telah tiada?

Begitulah, amat nyelekit kedengaran di telinga."Kamu kelihatan seneng,"  komentarnya. Mengusap puncak kepala anak itu pelan sedikit memberi kehangatan, di cuaca dingin.

Nadi dan Tuan Putrinya [c𝘰𝘮𝘱𝘭𝘦𝘵𝘦𝘥]Where stories live. Discover now