Bab 37 : Akhir bahagia?

75 12 28
                                    

Mel pernah berkata, "kita coba aja, biasanya kesempatan ragu-ragu yang kita ambil suka membuahkan hasil memuaskan." Anehnya, justru dirinya sendiri yang kepikiran terus dengan ucapannya. Jangankan ayah dan ibu. Teman, sahabat, saudara, seluruh keluarga besar. Ia saja tidak menyangka bisa menatap dirinya sendiri di depan cermin mengenakan gaun pengantin.

Toh, Nadi berkata jika ia sudah datang meminta restu kedua orang-tuanya. Kedua tangan Mel terlipat di depan paha terduduk anggun menunggu.

Kedapatan senyum perias beberapa kali takjub melihat penampilan dan wajah cantiknya. Seraya memberikan sentuhan terakhir. "Kamu masih kelihatan sangat muda," ucap wanita muda itu bicara lembut. Apakah Mel terlalu muda untuk menikahi seorang duda tampan? Diam-diam sudut bibirnya tertarik ke atas.

Diingat terus hingga tiba di depan gereja. Ia menurunkan kakinya pelan lalu menebarkan senyum sekilas namun di sana para tamu langsung mengarahkan pandangannya ke arah sang pengantin.

Kini lengkap serasa semuanya. Begitu memijak karpet merah terbentang panjang Mel mengigit bibir bawah gugup menyaksikan banyaknya tamu yang turut serta. Sayang sekali, kesenangannya berlangsung sementara.

Wajahnya jelas tak nampak seceria tadi. Orang-orang mulai memikirkan apa yang sedang dipikirkan oleh gadis yang telah dipinang seorang pria. Ini hari pernikahannya, sampai sosok laki-laki paling ditunggu-tunggu muncul nampak tampan mengenakan jas formal.

Kesedihannya mendadak bubar berganti oleh keceriaan menumpuk. Sibuk menghadapi gelisah di hati hingga belum sempat memikirkan bahwa lelaki itu akan sangat tampan apalagi jika berdiri persis di samping.

Ia menarik napas menggengam erat bucket bunga di tangannya dengan kedua tangan. Mel terkekeh kaget sekaligus malu juga, pipinya memerah padam. Yakin senyuman si pria sekarang terlalu berharga untuk tidak diabadikan.

Mempelai pria berdiri tegap di ujung sana bersiap menanti sang pujaan pilihannya. Lanjut berjalan anggun sendiri menuju altar. Bisu seribu bahasa, tak menyangka akan merasa sangat bahagia.

Saat kakinya berayun melalui karpet merah tersebut. Para hadirin pun mulai berdiri suasana haru semakin terasa saat sebuah instrumen ikut mengiringi.

Senyuman bahagia mengembang di wajah kedua mempelai. Dengan percaya diri penuh namun tak melirik kiri maupun kanan. Sebab, keduanya sama-sama tidak begitu mengharapkan kehadiran siapa-siapa turut berbahagia.

Asal upacara pernikahan berjalan lancar saja, bersyukur. Tetapi pikiran mereka bukannya main-main, rasanya seakan-akan semua orang tak menginginkan bahagia ini terjadi menjadi nyata.

Sekilas tatapan sendu mucul di muka kedua mempelai. Para tamu bertanya-tanya ada apa dengan mereka? Bukankah hari ini adalah hari bahagia. Mereka sangat muda dan serasi, ada yang menyayangkan bila mungkin benar tak sepenuhnya bahagia.

Ada pula yang tak memperhatikan hal sekecil itu. Karena selebihnya mereka memang terlihat baik-baik saja dari luar.

Memasuki di saat-saat menegangkan. Pemberkatan dilakukan oleh pendeta. Kedua mempelai diharuskan mengucapkan janji nikah, untungnya sudah siap fisik dan mental.

Tentu bukan menjadi perkara mudah apalagi bagi pemula seperti mempelai wanita. Mengucapakan janji setia dengan lantang dan bersungguh-sungguh di depan para jamaat.

Dilanjutkan, saling menyematkan cincin pernikahan di jari kanan masing-masing. Dimulai dari mempelai laki-laki sementara si gadis memperhatikan penuh keseriusan dari raut mukanya.

Entah mengapa masih berharap mimpi di saat menatap jari tangannya dengan penampakkan jauh lebih indah.

Setelahnya, sang mempelai dinyatakan sah menjadi sepasang suami-istri sesudah dilakukan pemberkatan oleh sang pendeta di hadapan para hadirin langsung memeriahkan.

Nadi dan Tuan Putrinya [c𝘰𝘮𝘱𝘭𝘦𝘵𝘦𝘥]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang