Bab 11 : Niat atau nekat

92 22 23
                                    

Tentang kejadian kemarin di kamarnya. Mel baru ingat apa yang Nadi katakan saat tengah berbisik. Genggaman tangan mengepal kuat merinding bersamaan pipinya tiba-tiba memanas. Mengapa pula sosok cowok itu meresahkan hari-harinya, bisakah dia musnah dari pikirannya sekarang?

"Bocil, nyusahin."

"AAAAARGHH PERGI LO DARI KEPALA GUE SEKARANG! PERGI ANJING! HARAM BANGET BUAT SUARA LO MUTER-MUTER MENUHIN PIKIRAN GUE, MANA NGGAK TANGGUNG JAWAB LAGI."

Tanpa sadar malah mengesampingkan ucapannya arogan terakhir yang diucapkan malam itu. Semuanya sirna teralihkan.

"Non, Non Mela udah bangun ya?"

"Bangun?" gumamnya mengangkat sebelah alis mendadak linglung."NGGAK BI! MELA UDAH MATIK." Ia menutup wajah menggunakan bantal.

"Eh, Non! Jangan Non. Mau bunuh diri apa gimana? Astagfirullah, Non. Buka dulu pintunya," paniknya beberapa kali berusaha memutar knop pintu.

"Bibi panggilin, Nyonya dulu."

"Mela! Mel, buka dulu ah."

"Ck, iya Maa." Gadis itu bersembunyi di balik selimut lagi. Melupakan fakta jika sudah pagi, saatnya beraktivitas. Berbeda dengan Mel yang betah malas-malasan di atas kasur selama masih bisa, sebab dalam waktu dekat ia akan masuk kuliah.

"Mela, nggak boleh kelamaan tidur gitu. Ayo keluar, nanti Mama buatkan makanan yang banyak." Panggilan selanjutnya dari Marwa.

Terserah, mau dibujuk bagaimanapun Mel lebih suka di kamar. Lagipula hafal ibunya hanya berbaik hati biasanya pasti ada maunya."Nggak mau ah," tolaknya.

"Heh?! Lihat nih anak kamu! Nggak heran kenapa dia jadi pembangkang begitu." Ibunya tengah berbicara dengan Ginanjar.

"Kamu mau bawa dia ke mana lagian, hah?! Kemarin aja kamu bawa keluar sebentar dia langsung kabur," bentak ayahnya balik.

"Kamu nggak akan mengerti dan nggak perlu mengerti. Lebih baik kubawa dia sejauh mungkin ketimbang berakhir gila di rumah ini!" Terdengar hentakan kaki wanita itu menggema di luar sana.

Reaksi Mel mendengar ayah dan ibunya berdebat. Lagi-lagi mereka punya tujuan berbeda, hingga kerap kali menimbulkan kericuhan. "Nggak ada! Pokoknya dia nggak boleh ke mana-mana," tegas Ginanjar.

"Aku nggak peduli! Akan kuperkenalan dia, laki-laki muda dan yang terpenting, dia sudah mapan!"

"Berani kamu sentuh dia!? Lagipula dia sudah cukup menghasilkan dengan karir modeling-nya. Untuk apa?! Tidak akan aku biarkan kamu mengacaukan," sentak Ginanjar menolak segala keinginan istrinya.

Plak!

"Udah mulai berani kamu ya."

Mel refleks memejamkan mata saat napasnya serasa tak karuan di bawah selimut. Selanjutnya diiringi ringisan kesakitan lirih bunyinya keluar diiringin isakan tangis. Lagi dan lagi harus mendengar apa yang semestinya tidak didengar.

"Brengsek! Dasar pria tua yang tidak tau malu!"

Otaknya masih tak bisa mencerna apa yang mereka bicarakan. Sebelum negara api menyerang mereka adalah sepasang suami-istri yang harmonis.

"Terserah, aku udah nggak peduli!"

Perlahan-lahan suara pertengkaran dari ruangan tengah, meredam. Suasana
ketenangan berkumpul kembali, setidaknya Mel baru bisa bernapas lega ketika semuanya selesai.

~~~~

Teras depan rumah selalu menjadi pilihan terakhir, sebagai tempat nongkrong manusia introvert sekaligus pendiam saking malasnya keluar. Memasukkan tangannya ke lubang saku. Nadi memandang teman-temannya baru turun di depan langsung tersenyum ke arahnya.

Nadi dan Tuan Putrinya [c𝘰𝘮𝘱𝘭𝘦𝘵𝘦𝘥]حيث تعيش القصص. اكتشف الآن