🌼32

13.1K 1.3K 188
                                    

Berjalan tak tentu arah, Railuna menghapus peluh yang tanpa sadar jatuh dari pelipisnya.

Hells yang ia gunakan sudah Railuna lepaskan dan berganti menentengnya.

Railuna berhenti sejenak lalu memilih duduk dipinggir trotoar. Selalu seperti ini. Bila sendiri, maka Railuna akan meratapi nasibnya yang tak pernah mujur.

Rasanya Railuna ingin menyerah, pergi jauh hingga semua bebannya dapat terangkat.

Usai meninggalkan pesta Alion, Railuna memilih menjauh. Entah, hanya saja nalurinya berkata bahwa Railuna tak pantas berada di sana. Di mata orang-orang, Railuna hanya orang asing. Padahal hubungan sebenarnya jauh dari kata itu.

Menundukkan kepalanya, Railuna menggigit kuat bibirnya.

"Lemah banget."

Tiba-tiba suara dari sampingnya menyentak Railuna. Kepalanya menoleh ke samping dan sudah mendapati kehadiran Alion.

Sejak kapan Alion duduk di sisinya?

Mendengus keras, Alion mengambil alih sepatu Railuna. Tanpa diduga pria itu berpindah tepat di depan Railuna, menarik kakinya lalu memasangkan kembali hells Railuna.

Suara terkesiap Railuna terdengar, tak ada kesempatan baginya untuk menarik kakinya sebab Alion menahannya.

"Ck, bisa diam tidak?! Aku potong juga ini kaki." sentaknya galak. Railuna meringis kala Alion mencekram telapak kakinya. Agaknya Alion sedang berada di suasana hati yang buruk.

Setelah selesai, Alion bangkit sambil menuntun serta Railuna agar ikut berdiri. Tak lama sebuah decakan keras terdengar dari Alion usai mengamati penampilan Railuna yang cukup terbuka.

Cepat ia membuka jas-nya dan menyapirkannya di bahu Railuna. Sekarang Railuna seolah tenggelam oleh jas kebesaran miliknya.

"Sekali lagi pake nih baju. Abis lo." gertaknya dengan tutur kata yang kembali berubah. Padahal Railuna lebih senang Alion mengubah cara bicaranya.

Pria itu berjalan meninggalkan Railuna. Sadar tidak meraskan seseorang mengikutinya, Alion berbalik. Matanya menyorot tajam seolah mengkode Railuna mengikutinya.

Pasrah, Railuna berjalan pelan di depan pria itu. Kembali membalikkan badan, Alion menggerutu.

"Ngerepotin banget jadi cewek."

Railuna yang tidak sengaja mendengar gerutuan itu, menggelengkan kepalanya. Padahal Alion masih mempunyai pilihan untuk membiarkannya terlunta di jalanan.

Tiba-tiba sebuah lampu menyorot penuh tubuhnya. Railuna merasa aneh, menoleh kebelakang hanya selang 2 detik Railuna terpelanting ke aspal. Tubuhnya terpental sejauh 5 meter. Bisa dibayangkan betapa kerasnya tabrakan itu.

Sementara Alion yang mendengar suara tubrukan itu, segera menoleh. Sayang semuanya terlambat. Dia sudah mendapati Railuna tergeletak dengan darah bercucuran di kepalanya.

"RAILUNA!" Alion berlari mendekati Railuna. Terlihat pengendara dan orang-orang mulai mengerubungi Railuna.

Sampai di tubuh kaku Railuna, Alion bersimpuh di tanah sedang kedua tangannya mengangkat kepala Railuna yang tak berhenti mengeluarkan darah.

"Hei. Railuna. Sayang." suara Alion gemetar. Bukan hanya suara melainkan seluruh tubuhnya demikian.

Dengan mata sayunya, Railuna menatap pria di atasnya. Bibirnya terbuka membuat Alion mendekatkan kepalanya guna mendengar suara Railuna.

"A-aku liat ayah." suara teramat kecil itu bagai sebuah pisau yang menggores hati Alion.

Tanpa menunggu waktu, Alion mengangkat tubuh Railuna saat kendaraan untuk membawanya ke rumah sakit sudah ada.

🌼
🌼
🌼

Tak ada yang tau takdir apa yang sedang menunggu kita di depan sana.

Seperti halnya Alion.

Sepanjang waktu ia tak bisa berpikir jernih. Bayangan Railuna dengan kepala berdarahnya masih terus menghantuinya hingga detik ini.

Mungkin hampir 1 jam Alion duduk bersama perasaan risaunya ketika pintu ruangan Railuna terbuka.

Masih menunjukkan tampang andalannya, Alion menghampiri sang dokter.

"Anda suaminya?" tanya sang dokter yang Alion balas dengan anggukan.

"Mari ikut saya." ajaknya berlalu diikuti Alion di belakangnya.

"Jadi?" Alion bertanya begitu mereka memasuki ruangan.

Dokter laki-laki itu mempersilakan Alion duduk begitupun dirinya. Setelahnya ia baru bersuara.

"Kecelakaan yang menimpa istri Anda, bisa dikatakan cukup parah. Apa lagi diketahui bahwa bagian terparahnya adalah kepala. Saat ini hasil pemeriksaannya masih diproses. Tapi melihat dari posisi luka serta menghitung seberapa keras benturan yang dialami, kemungkinan ada dua yang bisa terjadi," sang dokter melepas kacamatanya, kemudian berganti menatap lamat Alion.

"Pendarahan otak yang bisa menyebabkan kondisi tubuh tidak stabil. Seperti kejang, mual, lengan dan kaki lemas, sampai hilang kesadaran. Lalu yang kedua, adalah kebutaan."

Alion terhenyak mendengar penuturan dokter.

"Karena posisi luka istri Anda berada di belakang kepala yang mana bagian itu merupakan bagian saraf penglihatan. Tapi semoga saja tidak terjadi hal serius. Ini hanya praduga saya. Yang menentukan semuanya adalah hasil pemeriksaan."

Kenyataannya praduga dokter itu beberapa hari lalu tepat sasaran. Selama 3 hari tak sadar, Railuna akhirnya siuman. Namun hal pertama yang Alion dengar malah sesuatu mengejutkan.

"Kok lampunya mati?"

Alion membungkam rapat mulutnya. Yang bisa dia lakukan adalah menatap wajah linglung Railuna.

"Mas Lion," panggil Railuna dengan tangan bergerak. Alion segera menggenggam tangan kurus itu sambil memberikan sedikit remasan disana.

"Iya. Lampunya padam. Kamu tidur dulu." bohong. Nyatanya ruangan Railuna tak segelap apa yang pria itu jabarkan. Setelah Railuna tertidur, Alion beringsut mencium kening Railuna sebelum keluar dari ruang rawat Railuna.

Disana, sudah ada kedua orangtuanya menunggu.

"Istriku buta. Dia buta."

🌼
🌼
🌼

Part ter-nyesek. Setuju?

Jasa tonjok Alion resmi dibuka.

Makasih ya, yang udah setia dukung cerita ini. Semakin kesini Ralion mulai banyak yang lirik, hehehehe.

Sampai jumpa di part selanjutnya.

Sayang kalian banyak2😘😘

RALIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang