🌼33

12.9K 1.2K 148
                                    

Ada yang berbeda hari ini bagi Railuna. Jika biasanya ketika membuka mata adalah cahaya lampu atau matahari yang menyambutnya, maka sekarang yang ada hanyalah kegelapan.

Kegelapan yang tidak tertembus, membuat Railuna kembali menertawakan nasibnya.

Seharusnya kecelakaan itu merenggut saja nyawanya. Railuna ikhlas lahir batin, dibanding dengan ujian yang terus datang menghampirinya.

Ceklek...

Suara pintu dibuka tak sedikitpun menjadikan Railuna menoleh kearah suara. Ia terus menatap kosong ke depan. Bila ada yang melihatnya maka mereka akan menganggap Railuna tidak ada bedanya bagai raga tanpa jiwa.

Tak ada kehidupan di dalam netra karamel tersebut. Seakan Railuna tidak menginginkan lagi adanya dia di dunia ini.

Kemudian tangannya terasa digenggam. Dari aroma parfumnya Railuna tau siapa yang sekarang duduk di depannya.

Alion.

Satu nama itu terlintas di kepalanya. Railuna tak sedikitpun berniat menolak atau menepis genggaman Alion. Karena sekali lagi dia capek.

"Kamu makan dulu." ujar Alion melepas genggamannya dan beralih meraih nampan yang sebelumnya ia bawa beberapa saat lalu.

Mendapati keterbungkaman Railuna, Alion menghela napas panjang. Apalagi suapannya tak bersambut.

"Makanannya ada di depan bibir. Kamu buka mulut dulu." instruksinya akan tetapi Alion malah seolah mengajak patung berbicara. Railuna tak bergeming, hanya deru napas pelannya menandakan masih ada kehidupan di diri wanita itu.

Setelah Railuna mengetahui fakta tentang penglihatannya yang bermasalah, detik itu juga dia bagai menjadi patung. Tak ada raungan histeris di bibirnya kala mengetahui fakta tentang dirinya.

Railuna lebih memilih tertawa setelahnya akan diam seperti raga tanpa jiwa. Hal itu berlanjut sampai sekarang.

"Makan, Una. Kalo tidak, kamu mati. Mau?" Alion sungguh tidak berniat mengatakan kalimat itu barusan, cuman kepalang kesal saja sebab mendapat pengabaian dari istrinya.

"Aku mau mati. Bunuh aku, ya."

Alion yang hendak membuka mulut, seketika urung ketika Railuna akhirnya membuka suara. Akan tetapi telinganya malah mendengar sesuatu yang teramat Alion tidak suka.

"Aku harap itu adalah kalimat terakhir yang aku dengar." ungkapnya yang lagi-lagi membuat Railuna menutup mulutnya rapat-rapat.

Alion mendengus kecil. "Makan. Kamu gak kasian sama ayah kamu yang sedih liat putrinya mengabaikan suaminya sendiri."

Alion pandai memainkan emosi seseorang. Melalui kata-katanya Alion mampu membuat sang lawan mati kutu. Dan itu terbukti ketika Railuna membuka lebar mulutnya. Tanpa Railuna sadari, Alion tengah senyum-senyum sambil menyuapinya.

Entah mengapa ia lebih menyukai Railuna yang sekarang. Tidak melihat yang artinya Railuna akan selalu berada dari jangkauan dunia luar.

Memikirkannya, Alion terkekeh ringan. Sungguh bahagia rasanya.

Beberapa saat kemudian, makanan Railuna habis. Alion memberikannya minum lalu menuntun Railuna untuk bersandar pada kepala ranjang.

Meski Railuna hanya diam seperti patung. Tak meluruhkan niat Alion untuk menghabiskan waktu bersamanya.

"Hah~ aku suka kesunyian ini." ujar Alion disela memeluk Railuna erat.

Alion gila. Benar-benar sosok yang gila dan tidak waras.

Mencium pelipis Railuna, Alion bangkit untuk mengambil ponselnya yang berdering.

Ternyata Edenis.

"Hm."

RALIONTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang