Bab 5 : Rumor

63 4 0
                                    

Sudah lima putaran Langit mengayuh sepedanya mengelilingi kompleks perumahan. Nafasnya sudah tersengal-sengal. Dan kausnya pun sudah basah oleh keringat yang bercucuran. Ia lalu berhenti di sebuah taman untuk melepas lelah. Diluruskan kedua kakinya yang terasa pegal di atas rerumputan. Ia memang sudah lama tidak bersepeda lagi.

Kini ia mengamati orang-orang yang berlalu lalang di depannya. Mereka juga baru saja memulai aktifitas olah raga. Bersepeda, berlari, atau hanya berjalan santai bersama keluarga, saudara, teman...

Langit menarik nafas panjangnya. Bahkan teman saja ia sudah tidak punya. Sudah tiga tahun lamanya ia tidak pernah berkumpul lagi dengan teman-temannya. Sejak ia pindah ke rumah yang ditinggalinya saat ini. Ia memang sengaja menghilang, karena tidak ingin teman-teman lamanya mengetahui keberadaannya.

Ia ingin menata hidup yang baru. Menjadi laki-laki yang bertanggung jawab untuk satu-satunya keluarga yang masih ia miliki, Mentari. Ia tidak ingin kembali lagi pada kehidupan lamanya yang keras dan terlalu banyak bersenang-senang. Fokusnya saat ini hanyalah bekerja sebaik-baiknya demi mencukupi kebutuhan ia dan adik semata wayangnya itu. Hanya dirinyalah satu-satunya tumpuan hidup Mentari saat ini. Meski terkadang ia merasa sangat lelah, tapi ia mencoba bertahan. Ia bahkan sudah melupakan cita-citanya sendiri. Karena baginya, masa depan Mentari jauh lebih penting. Ia akan membiayai Mentari hingga ke perguruan tinggi. Mentari harus lulus sampai sarjana. Dia tidak boleh seperti dirinya yang putus kuliah di tengah jalan.

Kini Langit menatap ke atas. Ke arah matahari yang mulai mengeluarkan sinar panasnya. Ia lalu beranjak bangun. Dikayuhnya sepedanya lagi. Menempuh jarak dua puluh lima kilometer untuk sampai ke sebuah pemakanan umum.

Langit memarkirkan sepedanya di tepi jalan kecil beraspal. Ditelusurinya jalan itu hingga sampai di depan dua makam yang saling bersisian. Ia lalu bersimpuh di sana sambil memanjatkan doa. Sudah tidak ada lagi kesedihan di wajahnya. Karena ia tidak ingin kedua orang tuanya melihatnya terpuruk lagi dalam duka. Ia ingin mereka melihatnya sebagai laki-laki dewasa yang kuat. Meski terkadang ia merasa sangat rapuh.

Sudah tiga bulan lamanya ia tidak datang berkunjung. Rerumputan liar sudah tumbuh di sisi-sisi makam. Dan dedaunan kering berjatuhan di atasnya. Menutupi nisan bertuliskan nama kedua orang tuanya. Dipungutinya daun-daun kering itu dengan tangannya. Diusapnya nisan itu perlahan. Langit mencoba tersenyum, menutupi hatinya yang kembali terasa pilu. Rasa yang selalu datang setiap kali ia datang berkunjung.

Setelah beberapa saat berdiam di sana Langit pun beranjak bangun. Lalu mengayuh sepedanya kembali pulang. Ia sangat lelah dan mengantuk. Tak sabar rasanya untuk kembali menghempaskan tubuhnya di atas kasur empuknya.

Tapi sesampainya di rumah Langit dibuat terkejut oleh penampakan sepatu dan sandal yang berserakan di depan pintu. Seketika ia teringat janjinya untuk memberi les lukis teman-teman Mentari hari ini.

Dengan langkah lemas Langit masuk ke dalam rumah. Pupus sudah harapannya untuk kembali melanjutkan mimpi. Dilihatnya teman-teman Mentari sudah siap dengan papan lukis dan cat di tangannya masing-masing.

"Selamat Pagi, Mas Langit!!" Sapa keenam remaja putri itu menyambut Langit dengan wajah sumringah

"Selamat Pagi juga!" Sapa Langit dengan senyum terpaksa.

Mentari keluar dari dalam dapur dengan wajah terkejut. "Aduh! Aku kirain Mas Langit lupa! Aku tadi telepon gak tahunya hapenya gak dibawa," sungutnya sambil membawa minuman dingin untuk teman-temannya.

"Bilangin sama teman-teman kamu itu, hari ini gak boleh ada yang pegang hape. Semuanya pegang kuas lukis. Dan gak boleh ada yang cengengesan. Harus serius!" ucap Langit seraya bergegas masuk ke dalam kamar mandi.

Di Balik Rahasia LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang