Bab 14 : Drama Queen Yang Membingungkan

35 6 0
                                    

Bima duduk di samping Langit yang tengah menatap gedung-gedung menjulang di hadapannya, dengan asap rokok terhembus dari mulutnya. Diambilnya bungkusan rokok dari tangan Langit, dikeluarkannya sebatang lalu dinyalakannya. Langit memandang Bima dengan bingung. Sejak kapan ia merokok? Tanyanya di hati.

Bima mengepulkan asap rokoknya ke udara. "Pak Bagja gak mau dibalikin uangnya. Dia bilang itu bukan bayaran lu. Dia kasih itu sebagai hadiah untuk penyewa gedungnya."

Langit tertawa dingin. "Lu bilang kan, kalau gue ngundurin diri?"

Bima mengangguk, lalu menghela nafas panjang. "Sorry, Lang. Gue gak semestinya ngomporin lu waktu itu," sesalnya.

Langit menggeleng. "Gak ada yang tahu, Mas. Kita gak pernah benar-benar bisa menilai seseorang dengan tepat," sahut Langit. "Kayak sekarang gue baru tahu ternyata lu udah ngerokok lagi," sindir Langit.

Bima tertawa kecil. "Emang lu aja yang stres," sahutnya. "Lu yakin dia gak bakal datang lagi nemuin lu?" Tanyanya ragu.

Langit menggeleng. "Gak tau. Paling gak sekarang dia tahu, dia udah gak punya hak lagi ngatur-ngatur gue seenaknya."

Bima mengangguk-anggukan kepalanya. "Terus lu mau ngomong apa nanti ke Mentari? Dia pasti udah gak percaya lagi. Gak mungkin juga lu ceritain ini ke dia, kan?"

Langit mengangguk. "Lu pegang aja, Mas. Gue juga gak tau mau diapain tuh, duit kalau Mentari gak mau."

Bima kembali mengangguk. Dimatikannya rokoknya yang masih setengah. Lalu beranjak bangun. Ditepuknya bahu Langit. "Gue balik duluan, ya?" pamitnya lalu menghilang di balik pintu.

Langit menghabiskan kopinya, lalu menyandarkan punggungnya ke belakang kursi. Dipandanginya kembali gedung-gedung di hadapannya yang lampu-lampunya kini mulai menyala. Hari sudah mulai gelap. Udara mulai terasa dingin. Dihisapnya kembali rokoknya, dan diluruskan kedua kakinya di pagar tembok. Ia lalu kembali menghembuskan asap rokok bersamaan dengan hempasan nafasnya. Baru kali ini ia merasa malas pulang. Sejak kejadian kemarin itu Mentari tak menegurnya lagi. Bahkan ia tak membalas pesan singkatnya sejak siang tadi. Tak ada yang bisa membuatnya cemas di dunia ini selain adik tercintanya itu.

Suara pintu yang tiba - tiba terbuka membuat Langit menoleh. Malia berdiri di sana. Dengan wajah sembab, dan rambut kusut yang diikat kuncir kuda. Langit langsung beranjak bangun melihatnya. "Kalo lu mau bunuh diri lagi, gue gak akan ngehalangin lagi!" Ucapnya sambil melangkah ke arah pintu. Namun tangan Malia menghentikan langkahnya.

"Please!" Malia menatap Langit dengan wajah memohon.

"Apalagi?" Sahut Langit acuh, berusaha melepaskan tangan Malia yang memeganginya.

Tapi Malia malah memeluknya. Lalu menangis di dadanya. "Maafkan, aku," isaknya. Tapi Langit hanya terdiam. Ia sudah lelah dengan permainannya.

Lama Malia terisak di sana. Pelukannya semakin erat. Sampai Langit kemudian menarik kedua bahunya. Diangkatnya wajah Malia hingga ia menatapnya.
"Kamu bikin aku bingung," ucapnya pelan.

Malia menatap Langit putus asa. "Aku takut. Melihatnya menatap kamu aku tahu dia mencintaimu. Devina gadis yang sempurna. Dia tak punya masa lalu kelam seperti aku. Aku gak bisa bersaing dengannya. Kamu pasti akan memilih dia, kan? Karena kamu tahu hidupmu akan selalu baik-baik saja bersamanya."

Langit menggeleng - gelengkan kepalanya. Kecemburuan Malia pada Devina sungguh tak masuk akal. "Aku gak bisa meneruskan hubungan kita kalau kamu masih bersikap kayak gini. Sifat posesif kamu sudah keterlaluan. Kamu gak akan menjadikan seseorang lebih dekat denganmu dengan cara kayak gitu. Kamu yang bikin hubungan kita gak nyaman," ucapnya lagi.

Di Balik Rahasia LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang