Bab 32 : Korban Malia

33 5 0
                                    

"Pak Riswan!"

Dari halaman parkir Langit berlari dan
memanggil Pak Riswan yang baru saja keluar dari dalam elevator.

"Pagi, Mas Langit!" Sapa Pak Riswan dengan senyumnya yang ramah.

"Pagi, Pak! Saya ada perlu sebentar sama Pak Riswan," ucap Langit dengan nafas tersengal.

"Perlu apa, Mas?" Pak Riswan memandang Langit dengan penasaran.

Langit menarik Pak Riswan ke sudut lobby. "Pak Riswan kenal sama yang namanya Eva itu, kan?"

"Ya, kenal begitu saja, Mas. Kalau ketemu ya, nyapa. Gak kenal dekat. Ada apa toh, Mas?" Tanyanya penasaran.

"Saya mau minta tolong, Pak. Mintain saya nomor hape-nya."

Pak Riswan memandang Langit dengan ragu.

"Saya cuma mau minta maaf!" Sahut Langit menjawab keraguan di wajah Pak Riswan.

"Tapi... gimana kalau ketahuan Mbak Malia, Mas? Saya bisa dipecat!" Pak Riswan menatap Langit dengan khawatir.

"Ya, jangan ketauan, Pak!"

Pak Riswan menggaruk-garuk kepalanya.

"Begini, deh. Bilang aja, Pak Riswan minta nomor teleponnya buat data keamanan. Kalau terjadi keadaan darurat."

Sejenak Pak Riswan bepikir. "Saya usahakan ya, Mas! Tapi gak janji loh. Kalau dianya gak mau ngasih, ya gak bisa dipaksa, toh?"

Langit mengangguk. "Kalau dia gak mau ya, gak pa-pa. Saya minta nomornya Pak Riswan, nanti kita saling chat aja, Pak."

Pak Riswan mengangguk dengan wajah terpaksa.

Langit menepuk bahu pria itu sambil tersenyum. "Makasih, Pak!" Ucapnya. Lalu secepatnya masuk ke dalam elevator yang terbuka di hadapannya.

Danar tengah merapikan meja dan kursi saat Langit tiba di cafe.

"Pagi, Mas Langit!" Sapa Danar.

"Pagi, Nar!"

"Ada kirimin paket Mas, dari Mbak Malia. Makanan kayaknya." Danar mengulurkan sebuah paper bag pada Langit.

Dari Malia? Tumben dia kirim sarapan pakai kurir? Dikeluarkannya sebuah kotak makanan dari dalam kantong.

"Pagi semua!"

"Pagi, Mas!" Sapa Langit seraya memandang heran Mas Bima yang datang tanpa membawa boks roti. "Tumben, gak bawa roti, Mas?" Tanyanya.

Bima menggeleng. "Gak sempat bikinnya. Semalaman gue bikin laporan keuangan cafe."

Langit terdiam sambil berpikir. Laporan buat siapa? Dan tumben banget Mas Bima gak bikin roti. Selama tiga tahun ia bekerja bersamanya, Mas Bima tak pernah absen bikin roti, kecuali saat hari libur.

"O ya, Lang. Malia ke Surabaya dua hari sama Pak Bagja. Dia hubungi lu tapi katanya hape lu mati," ujar Bima lagi.

"Oh, ya?" Langit tersenyum senang. Pantas dia kirim sarapan pakai kurir, gumamnya. Kemarin ia memang mematikan ponsel saat tiba di rumah karena tak ingin Malia mengganggunya.

Sebuah pesan masuk terdengar dari ponsel Langit. Ia pun tersenyum membacanya. Pak Riswan berhasil mendapatkan nomor ponsel Eva. Dengan cepat ia lalu berjalan ke teras. Ia akan menelepon Eva.

Langit merasakan jantungnya berdegup kencang saat ia mulai menekan nomor itu. Bagaimana kalau Eva marah padanya? "Hallo? Eva, ini Mas Langit," sapanya saat mendengar sahutan di ujung telepon. Ia lalu tersenyum lega saat Eva menyapanya dengan ramah. Bahkan Eva menanggapinya dengan tawa saat ia meminta maaf padanya. Dia sudah tidak mempermasalahkannya. Dan dia juga memintanya untuk tidak membahasnya lagi dengan Malia. Tapi Eva tidak bisa bercerita lebih banyak karena baru saja tiba di kantor. Tapi dia berjanji akan menghubunginya lagi nanti.

Di Balik Rahasia LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang