Bab 23 : Ketahuan Pada Akhirnya

27 5 0
                                    

Langit membuka mata perlahan ketika merasakan hangatnya sinar matahari yang masuk menembus jendela kamarnya. Tapi tubuhnya seperti tak mau bergerak. Kakinya bahkan seperti terikat di atas tempat tidurnya. Ia baru merasakan kelelahan luar biasa setelah seharian kemarin melayani pelanggan cafe tanpa henti. Langit melirik jam di meja kamarnya. Sudah hampir pukul sembilan pagi. Perutnya sudah mulai kelaparan. Perlahan ia pun memaksa tubuhnya bangun dan keluar dari dalam kamar. Tak didengarnya suara Mentari. Langit lalu berjalan ke kamar Sang Adik dan mendapati secarik kertas bertuliskan pesan yang menempel di pintu kamarnya.

"Lagi sepeda-an sama Kak Vina. Kalau mau titip sarapan, WA aja!"

Langit tersenyum. Diambilnya ponsel dan diketikannya sebuah pesan ke nomor Mentari. Dan dibukanya dua buah pesan masuk dari Malia yang menanyakan kabarnya sejak tadi. Langit membacanya sekilas tanpa membalas. Ia akan membuat Malia kesal hari ini. Ia akan membalas perlakuannya kemarin. Sambil tersenyum senang Langit lalu mematikan ponselnya. Hari ini ia akan beristirahat seharian. Siapa pun tak boleh ada yang mengganggunya, termasuk Malia. Langit lalu menarik kakinya ke ruang tamu dan menghempaskan tubuhnya di atas sofa. Dan ia pun kembali memejamkan mata.

Rasanya baru sesaat Langit terpejam ketika ia mendengar suara nyaring memanggilnya.

"Mas! Ini sarapannya!"  Wajah Mentari sudah berada tepat di atas wajah Langit. Lalu mengamatinya sesaat. "Mas Lang sakit?" tanyanya sambil menyentuh kening Langit yang hangat.

Langit menggeleng.

"Kok, anget? Mukanya juga pucat!"

Langit menyentuh keningnya. Ia baru sadar, kalau ternyata ia sedang tak enak badan. "Cuma kecapeakan aja," sahutnya. Lalu beranjak bangun dan membuka bungkusan yang dibawa Mentari.

"Mau dipanggilin tukang pijit langganan, gak?" Wajah Mentari berubah khawatir.

Langit menggeleng. "Mau tidur aja. Nanti siang juga sembuh," sahutnya sambil membuka bungkusan mie ayam pesanannya. 

Mentari masuk ke dalam dapur lalu kembali dengan segelas teh hangat untuk Sang Kakak.

Langit tersenyum. Mentari memang paling takut melihatnya jatuh sakit. Ia takut dirinya akan mengalami sakit yang sama seperti Ibu mereka dulu. Berbulan-bulan Mentari turut merawat Ibu sebelum akhirnya dipanggil Sang Kuasa.

"Mas gak pa-pa. Beneran! Cuma kecapeakan aja. Karena kemarin cafe tuh, ramai banget!" Langit berusaha menghilangkan kekhawatiran di wajah Mentari.

"Kalau sampai sore nanti Mas masih panas, Mas harus ke Dokter!" Ancam Mentari.

Langit pun mengangguk untuk menenangkannya.

Setelah menghabiskan sarapan, Langit kembali ke dalam kamar. Karbohidrat yang masuk kedalam perutnya membuat matanya kembali mengantuk.

Entah berapa lama Langit tertidur saat ia merasakan sebuah sentuhan lembut mengusap wajahnya. Langit memicingkan mata. "Malia?" Jeritnya dengan mata yang terbuka lebar.

"Kamu gak balas pesanku. Hape kamu juga mati. Aku tanya Mentari, ternyata kamu sakit," sahut Malia menjawab pertanyaan di wajah Langit.

Langit mengusap wajahnya yang masih terasa hangat. Sekarang ia merasa kepalanya pun ikutan sakit. Dilihatnya sekeranjang buah segar yang dibawa Malia di atas meja. Langit menghela nafas panjang.

"Aku gak pa-pa. Cuma perlu istirahat aja, nanti sore juga sembuh," ucapnya seraya duduk bersandar di tempat tidurnya.

"Aku antar ke dokter, yuk?" Tampak kekhawatiran di wajah Malia.

"Malia... aku cuma kecapekan aja. Gak perlu ke dokter! Lihat nih, aku bisa bangun!" Akhirnya Langit memaksa tubuhnya bangun dari atas tempat tidur lalu berjalan ke ruang tamu. Dihempaskannya kembali tubuhnya di atas sofa.

Di Balik Rahasia LangitWhere stories live. Discover now