Bab 9 : Derita Pak Subagja

41 5 0
                                    

"Selamat sore, Pak Subagja! Selamat datang di Cafe Dewa!" Suara sapa yang keluar dari mulut Bima mengagetkan Langit yang tengah melayani pelanggannya. Ia pun ikut menganggukkan kepala dan melempar senyuman.

Tampak Pak Subagja dengan ramah membalas sapaan Bima dan Langit. Ia lalu memesan kopi dan memilih meja di samping sebuah pohon hias yang sedikit menutupinya.

Tak berapa lama Langit pun membawakan pesanannya. "Apa kabar, Pak?" Sapanya seraya meletakan secangkir kopi hitam di atas meja dan menyalaminya.

"Baik. Terima kasih!" Sahut Pak Subagja, tersenyum. "Kamu masih sibuk? Saya ada perlu sedikit sama kamu," tanyanya tiba-tiba.

Dengan ragu Langit menolehkan wajah ke arah Bima, yang dijawab dengan sebuah isyarat anggukan. Dan Langit lalu duduk di hadapan Pak Subagja dengan wajah penuh tanya.

"Saya ...." Pak Subagja memandang Langit dengan ragu. "Begini... Saya mau minta tolong sama kamu. Saya tahu permintaan ini berat. Karena kamu juga sibuk bekerja. Tapi ... " Pak Subagja terdiam sesaat. Ia kembali ragu. "Saya sungguh tidak enak hati mengatakan ini," sambungnya lagi.

Kini jantung Langit berdegup kencang. Dicondongkan tubuhnya mendekat, seolah ingin memastikan kepada pria di hadapannya itu, bahwa ia akan mendengarkan apa pun ucapannya.

Setelah menarik nafas panjang, akhirnya Pak Subagja mulai meneruskan kata-katanya. "Malia... sudah setahun ini mengurung dirinya di rumah. Ia tidak pernah keluar rumah lagi sejak kembali dari kuliahnya di London. Dia mengalami depresi karena adiknya meninggal dunia di sana, sekitar... hampir tiga tahun yang lalu. Hubungan mereka sangat dekat. Mereka bahkan kuliah di kampus yang sama. Adiknya, Mario, anak bungsu saya. Meninggal karena kecelakaan. Malia sangat terpukul. Sampai sekarang ia masih belum bisa melupakannya. Dia sering melakukan percobaan bunuh diri. Tapi kami selalu mengetahuinya. Sampai kemudian dia melakukannya lagi di sini. Dan kamu menyelamatkannya malam itu."

Pak Subagja kembali menghela nafas, lalu menyesap kopinya. Dia seperti ingin mengumpulkan kekuatannya untuk kembali bercerita. "Tapi sejak bertemu kamu dia seperti punya sedikit semangat. Dia jadi rajin sekali keluar rumah meski hanya untuk menemuimu. Dan sejak kamu bilang akan menemaninya ke dokter dia juga semakin bersemangat untuk mengikuti jadwal terapinya. Saya... cuma ingin memastikan apakah ucapan kamu itu sungguh-sungguh?"

Langit mengangguk. "Saya sungguh-sungguh. Demi kesembuhan Malia. Tapi... saya cuma bisa menemaninya di hari libur," sahutnya.

Pak Subagja tersenyum lega. "Terima kasih, Langit. Saya sangat menghargainya. Tapi saya tidak ingin mengganggu pekerjaan kamu dan hari libur kamu.  Karena sebenarnya yang sangat dibutuhkan Malia saat ini adalah teman yang bisa dia percaya. Jadi kalau boleh saya mau minta tolong agar kamu mau menemani dia sampai di selesai menjalani terapinya, dan benar-benar sembuh. Karena saat ini dia tidak mempunyai teman dekat yang bisa diajaknya bicara. Dia sudah menjauhi semua teman-temannya."

Langit menatap Pak Subagja dengan bingung. Ia memang berjanji untuk menemaninya ke dokter, tapi kalau untuk menemaninya sebagai teman...

"Jangan khwatir, saya pasti akan memberikan imbalan. Anggap saja ini sebagai pekerjaan sampingan."

Langit terkejut mendengar ucapan pria itu. Ia lalu menggeleng. "Gak perlu, Pak. Saya ikhlas melakukannya." Dan akhirnya tanpa sadar ia menyanggupi permintaannya.

Tapi Pak Subagja menggeleng. "Jangan menolak, Nak. Saya berhutang banyak sama kamu. Sekarang giliran saya membalasnya."

Langit menatap Pak Subagja dengan bingung. Didorongnya punggungnya ke sandaran kursi. Ia tak bisa berkata-kata.

"Maafkan, saya. Saya tahu, kamu bukan orang yang seperti itu. Tapi saya juga paham permintaan saya ini sangat berat buat kamu. Menemani Malia selama berbulan-bulan itu tidak mudah. Dia orang yang sulit. Sangat sulit. Jadi, kamu anggap saja ini sebagai imbalan pekerjaan."

Langit kembali terdiam. Dia sama sekali tak menduga akan mendapatkan tawaran yang tak masuk akal baginya.

"Berapa pun yang kamu minta, saya akan bayar. Saya yakin kamu mengerti. Seorang Ayah akan melakukan apa pun demi anaknya."  Suara Pak Subagja kini bergetar.

Langit terpaku menatap orang terpandang, yang dihormati dan disegani setiap orang di gedung ini, kini memohon di hadapannya demi kebahagian anaknya. Ternyata harta tak selalu bisa membuatnya bahagia.

"Kamu juga pasti akan melakukan hal yang sama buat adik kamu, kan? Kamu akan melakukan apa pun untuk bisa membahagiakannya," ucap Pak Subagja lagi dengan mata yang sudah berkaca-kaca.

Seketika Langit teringat Mentari. Ia memang sangat membutuhkan biaya yang banyak saat ini. Dan Mas Bima... Dipandanginya Bima yang tengah merapikan meja konter. Dan entah mengapa akhirnya ia pun mengangguk. Meski hati nuraninya menentangnya, tapi ia tak bisa mengalahkan egonya. Pak Subagja mungkin benar, dia harus menganggap ini sebagai sebuah pekerjaan.

Dan kini Pak Subagja menggenggam tangannya dengan erat. Ucapan terima kasih yang dalam diungkapkannya lewat tatapan dan senyuman harunya. Tampak kelegaan yang terpancar di wajahnya. Dirangkulnya Langit sebelum kemudian ia beranjak pergi.

Langit kembali terduduk. Terpaku lama dalam diam. Kini ia merenungkan keputusannya. Bukan tentang kesediaannya untuk menemani Malia. Tapi tentang bayaran yang akan diterimanya nanti. Apakah benar yang telah dilakukannya?

"Hei. Lu gak pa-pa?" Tepukan Bima mengagetkannya.

Langit menggeleng. "Gak pa-pa, Mas," sahutnya sambil menghela nafas panjang.

"Ada yang mau lu ceritain?" Tanya Bima lagi dengan wajah curiga.

Langit kembali menggeleng. "Mungkin nanti, Mas..." sahutnya ragu.

Bima mengangguk. Lalu kembali menepuk bahu Langit. "Kapan aja lu mau cerita, lu hubungin gue. Ok? Gue balik duluan!" Ucapnya lagi, lalu berjalan keluar dari cafe.

Dari balik jendela kaca Langit menatap keluar. Hari sudah mulai gelap. Ia lalu beranjak bangun. Dan mulai membereskan cafe.

...

Kini Langit sudah berada di dalam kamarnya. Ditatapnya sebuah nomor di layar ponselnya. Dan dipandanginya foto dalam profil itu. Tampak wajah Malia yang tersenyum. Sambil menghela nafas, Langit mulai menuliskan kata.

"Hai..."

Ditunggunya beberapa saat. Hatinya berdegup kencang. Ia terheran-heran, kenapa ia jadi gugup sendiri?

"Hei... 😍" Sebuah balasan muncul dengan cepat. Dengan emoticon yang membuat Langit tersipu.

Sebenarnya Langit bukan orang yang pandai mengobrol lewat pesan. Tapi melakukannya dengan Malia ternyata tak sesulit yang ia bayangkan. Dia sangat menyenangkan.

Tak terasa sudah hampir satu jam ia  berbalas pesan dengan Malia. Ia menolak ketika Malia memintanya untuk melakukan panggilan video. Bukannya tak mau, tapi ia takut adiknya yang usil itu tiba - tiba mendengar lalu mengganggunya.

Langit melihat jam sudah menunjukan pukul sepuluh malam lebih. "Udahan dulu, ya? Udah malam. Kita sambung lagi besok!" Ucapnya mengakhiri obrolan.

"Ok. Sampai besok! 😘"

Sejenak Langit menatap layar ponselnya dengan senyum tersipu. Apa yang harus dibalasnya dengan emoticon seperti itu? Ah, Malia memang sangat ekspresif. Membuatnya jadi kegeeran. "Bye..!" Balasnya menutup obrolan.

Kini ia menjatuhkan kepalanya yang terasa pegal ke atas bantal. Dipandangnya langit-langit di kamarnya. Perasaan aneh itu kini datang lagi. Diingatnya semua percakapannya dengan Malia barusan. Apakah ia selalu seramah dan sedekat itu dengan orang lain? Atau hanya kepadanya saja? Ah! Kenapa ia jadi baper? Langit buru-buru menghapus bayangan itu. Lalu membenamkan wajah dalam bantal empuknya.

Di Balik Rahasia LangitTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang