27. KELANJUTAN RIGO

445 34 14
                                    

"Sebenarnya itu terjadi karena gue dijebak sama orang." jelas Rigo dengan raut penyesalan. Setelah pulang sekolah, mereka memilih berada di pojokan cafe, mencari tempat yang sepi agar pembicaraan tidak didengarkan banyak orang.

"Waktu itu, tepat malem minggu seperti biasa gue ngedatengin club biasa nongkrong. Disitu gue pesen banyak minum sampai mabuk. Waktu tegukan terakhir, gue ngerasa ada yang beda sama rasanya, tapi tetep gue minum, Waf." tutur Rigo dan disimak oleh Wafi.

"Terus?" tanya Wafi tak sabaran.

"Setelah itu gue pergi keluar club, disana gue udah gak sadar. Saat gue mau buka pintu mobil, Trisya tiba-tiba datang nolongin gue yang saat itu emang udah gak sadar. Gue gak tau kenapa tiba-tiba Trisya disana dan setelah nya--"

Rigo menghela nafasnya berat, dadanya sesak mengingat kejadian naas itu. "Gue tiba-tiba bangun di kamar yang saat itu juga ada Trisya disamping gue dan keadaan kami sama-sama polos. Ada bercak kemerahan, yang artinya..."

"Stop! Gak usah diperjelas!" kesal Wafi tidak sanggup.

"Lo bener-bener bego, tolol, goblok anjing!" geram Wafi.

"Maafin gue Waf. Tolong kasih tahu gue. Gue harus ngapain." frustasi Rigo.

"Ya tanggung jawab lah goblok! Lo udah ngerusak masa depan cewek anjing."

Rigo menundukkan kepalanya lesu. "Tapi gue gak siap Waf, gue masih sekolah. Orang tua gue mungkin gak mau ikut campur, tapi gimana orang tua Trisya."

Wafi mencengkram kerah seragam Rigo. Dia menatap tajam Rigo. "Lo jadi cowok haris gentle. Ingat! Disini yang dirugiin gak lo doang, Trisya lebih rugi atas perbuatan lo. Setiap perbuatan pasti ada konsekuensinya, dan lo harus tanggung itu!" geramnya.

Wafi kemudian pergi meninggalkan Rigo menuju pangkalan gojek untuk pulang menuju mansion. Kepalanya rasanya ingin meledak, hidupnya menjadi rumit sekarang. Setelah beberapa waktu akhirnya Wafi sampai di mansion dengan wajah murungnya, disana ia disambut dengan wajah kakek nya yang menakutkan.

"Dari mana saja kamu?" tanya Baron datar. Wafi hanya menghela nafas kasar.

"Gak sopan! Diajak ngomong orang tua malah diam!"

"Wafi lelah kek, permisi." ujarnya lesu.

Baron menatap kepergian Wafi dengan penuh tanya. Ia curiga sepertinya ada masalah yang dihadapi cucunya itu, tak menunggu lama ia langsung menelpon asistennya mencari tahu tentang penyebab kemurungan Wafi.

Sedangkan Wafi, dengan hati-hati ia membuka pintu kamarnya. Dapat ia lihat, Intan tertidur di atas karpet dengan tumpukan buku. "Sepertinya dia nungguin gue." gumam Wafi. Wafi jadi merasa bersalah, dengan sigap ia membopong tubuh Intan meletakkannya diatas kasur nya.

Wafi terpaku sesaat melihat wajah tenang Intan. Wajahnya sangat damai dan menenangkan. Tanpa sadar ia mengusap pipi Intan dengan telunjuknya, rasanya lembut dan seketika membuat darahnya mengalir deras.

"Makasi dan maafin kesalahan gue selama ini." gumam Wafi merasa bersalah. Ia baru sadar, selama ini Intan tidak memiliki salah apapun padanya, hanya dirinya saja yang memiliki hati busuk dan dipenuhi akan kesombongan. Setelahnya ia tersadar melihat telunjuknya menempel di pipi Intan, ia langsung melepas.

Wafi kemudian berjalan membereskan kertas yabg berserakan diatas karpet. Dia pergi mandi dan berganti pakaian. Baru saja ingin melangkah keranjangnya, ia langsung teringat ada Intan disana. Ia pun beralih menuju sofa dan tidur. Namun, karena terlalu banyak fikiran matanya tidak bisa menutup rapat.

Wafi menatap kearah atap kamarnya. Tiba-tiba dia memikirkan tentang bagaimana kelanjutan nasib pernikahannya. Dirinya masih sangat muda, dan tak bisa menjadi kepala keluarga yang baik. Matanya pun beralih menatap Intan yang tertidur pulas, dia tersenyum miris.

WAFISKATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang