Bagian tentang Haidar

3 1 0
                                    

Problem. I will still find him while I have the chance to live on
-Haidar.

Karena seperti kata seseorang, ketika kita masih punya kesempatan buat buka mata dan bernapas seperti biasanya, berarti kita masih punya kesempatan untuk banyak hal. Untuk menyelesaikan masalah kita sebelumnya sampai tuntas, bertemu dengan masalah baru, dan memikirkan lagi cara untuk mengatasi masalah itu seperti yang sudah-sudah.

Capek nggak sih? Iya capek. Gue yakin kalau semua manusia dikumpulin dan ditanya soal capek atau enggak pasti jawaban mereka akan kompak, capek. Tapi gimana? Toh pada akhirnya kita akan memilih jalur di kuat-kuatin aja sampe beneran kuat.

Kadang dalam diam yang cuma ada gue, gue sering memuji diri gue sendiri, masih enggak nyangka kalau gue udah melalui banyak hal, dan masih enggak menyangka ketika gue mencoba flashback lagi, ternyata pertahanan diri gue sekeren itu. Bahkan di beberapa kesempatan yang di dalamnya terdapat opsi menyerah, gue masih memutuskan untuk enggak menyerah. Gue masih lanjut, gue masih jalan, gue masih bertahan dengan semua luka yang gue bawa meski gue sendiri enggak tahu, di depan sana apakah gue akan pulih dengan perlahan-lahan atau gue akan lebih terluka lagi dari pada ini.

"Jadi lo dulu cita-citanya mau jadi pemain timnas?"

Gue mengangguk. Sementara cewek dengan cepolan asal yang duduk di dekat gue itu sedikit menyipitkan matanya. Dan dengan perlahan dia menoleh ke gue.
"Terus?"

"Ya nggak jadi."

Karena waktu itu kaki gue cidera dan mama menyuruh gue untuk mundur, jadi dengan berat hati dan frustasi yang mendalam pada akhirnya gue mundur, gue nggak bisa apa-apa meski saat itu gue tahu dengan jelas sebenarnya apa yang gue inginkan. Bahkan ketika gue mengingat momen itu untuk yang kesekian kali, gue masih merasa sesak.

Nyatanya akan tetap menyakitkan meskipun gue yang sekarang sudah menemukan bidang lain yang bisa gue kuasai dengan baik selain bola, karena pada saat gue melepaskan bola, gue dalam posisi yang begitu menyukai bola, bahkan gue merasa kalau bola adalah bagian terbaik dalam hidup gue saat itu.

"Gue terlalu yakin, sampai gue lupa kalau nggak ada yang bisa gue raih dengan gampang di sini."

"Optimis yang berlebihan bisa nyakitin perasaan kita sendiri ya ternyata," kata Anjar. Dia kemudian menatap gue sebentar, sebelum akhirnya menghembuskan napasnya yang berat.
"Tapi mustahil nggak sih, kalau kita bisa jadi manusia yang nggak banyak berharap?"

"Yahhh." Dengan tawa ringan, gue menoleh ke dia.
"That impossible."

Bahkan ketika kami—para manusia, yang sudah sering sekali dikhianati dengan harapannya sendiri, kami tidak pernah jera untuk berharap. Kami tidak pernah jera untuk memiliki ekspetasi tinggi, dan kami sama-sama tahu, bahwa jatuh adalah perkara yang menyakitkan.

Udahlah ya sedihnya. Dan karena ini adalah bagian dari gue, jadi gue mau cerita sedikit soal gue dan hidup yang gue jalanin tentunya.

Gue Haidar, anak bungsu yang nggak pernah tau gimana rasanya jadi bungsu. Kalimat yang gue sampaikan tadi terdengar aneh memang, tapi ya memang itu yang gue rasakan. Kakak gue lebih tua dua tahun dari gue, dan dia seorang autisme, dia seorang yang harus selalu gue jaga, dia seorang yang harus selalu gue dahulukan, dia seorang yang harus selalu gue perhatikan. Mama gue single parents, bokap meninggal ketika gue umur 16 tahun, nggak heran kenapa dulu gue sempet sekolah nyambi kerja, bahkan sejak gue SMA kelas 3, gue selalu nyambi dengan kerjaan part time, nggak banyak memang yang gue dapatkan dari part time, tapi seengaknya, gue jadi jarang minta uang ke mama, entah itu untuk jajan gue, atau untuk sekolah gue.

Kadang gue bosen sih, sama apa yang gue jalanin, kadang gue mengeluhkan semua ini, dan kadang, ketika ngelihat ada orang yang hidupnya lebih enak dari gue, gue pasti pengen jadi orang itu.

Pernah gue berpikir seperti ini, kenapa manusia itu nggak di samaratakan? Kenapa harus ada si kaya dan si miskin? Kenapa harus ada yang hidup enak dan yang hidup nggak enak? Kenapa harus ada yang berkecukupan dan ada yang kurang? Dan lo tahu jawaban apa yang gue dapat dari mama gue saat itu?

"Karena Allah itu adil."

Iya, dan keadilan Allah itu ada pada ketidak adilan yang kerap gue pertanyakan.

Padahal waktu gue ngaji juga ustad gue sering kok ngasih tau gue, kalau Allah itu nggak akan menguji hambanya diluar batas kemampuan hamba tersebut.

Gue bukannya sok paling ngerti agama, tapi itu disampaikan di dalam Al-quran, dan bukannya udah seharusnya ya kita menaruh banyak keyakinan di sana? Harus sih.

Oke next,
Gue sekarang kuliah, jurusan ilmu komunikasi, dan gue masuk di bagian penyiaran. Awalnya gue nggak tahu kalau gue bisa bertahan dengan baik di sini, tapi yang jelas gue selalu berusaha semampu gue, sampai gue merasa berhasil meski gue baru semester empat.

Dulu sempat terbesit pemikiran untuk nggak usah kuliah dan fokus kerja dalam benak gue, cari uang yang banyak buat bantu mama, kalau perlu sampai mama nggak usah kerja lagi, bantu biayayain pengobatan abang gue, nyicil rumah, intinya gue nggak jauh beda dari manusia kebanyak, pengen kaya, pengen bisa beli ini itu, tapi gue nggak bisa ngebohongin diri gue sendiri, kalau gue juga pengen ngerasain gimana rasanya jadi mahasiswa, dan mama gue adalah orang yang sangat peka, jadi siang itu, dia dateng ke kamar gue buat ngomong baik-baik ke gue, katanya,

"Mama masih kuat kerja, mama masih mampu biayain kamu kalau kamu memang mau kuliah, lagi pula selagi kitanya mau berusaha, jalannya pasti ada." tatapan mama gue saat itu terlihat begitu yakin, hanya saja entah kenapa caranya menatap gue membuat gue keluh. Dan nggak peduli berapa kali mama nyuruh gue buat berhenti menghawatirkan sesuatu yang nggak pasti, gue tetep khawatir.

"Kuliah, mama tahu kamu pengen kuliah."

"Jangan takut soal biayanya, biar mama yang cari."

Kalo inget soal dulu-dulu tuh, gue suka sedih. Apalagi awal-awal lulus, banyak persimpangan yang akan ngebuat lo bingung, dan takut kalau lo salah langkah, jadi lo sangat berhati-hati dan penuh pertimbangan ketika memilih, seperti gue yang pada akhirnya memilih untuk tetap melanjutkan kuliah dan berhenti mengatai diri gue egois. Iyaa, gue sempet berpikir bahwa gue egois karena gue nggak memikirkan mama dan abang gue, gue nggak memikirkan perekonomian keluarga kita, tapi lagi-lagi gue inget kata mama, selalu ada jalan ketika lo mulai mempunyai tujuan, dan selalu ada alasan juga ketika lo ingin berhenti lalu memutuskan untuk menyerah alih-alih berjuang sampai lo bener-bener capek dan muak.

Dan gue, gue belum capek.
Gue belum muak.

LIFE AND PROBLEMSWhere stories live. Discover now