Kehidupan setelah lulus

3 1 0
                                    

Anjar.

Selamat datang di kehidupan yang sebenarnya.

Bangun tidur aja rasanya gue lagi diolok-olok semesta dengan kalimat sama yang terus diulang-ulang. Syalandd.

Kalau gue inget lagi tuh lucu yaa, gue dapet banyak ucapan selamat ketika gue wisuda, tapi bahkan, gue sendiri nggak tahu apakah gue harus seneng atau gimana setelah gue akhirnya lulus. Temen-temen gue udah sibuk ngurus ini itu buat persiapan kuliah, ada yang sampai sekarang pun masih belajar buat persiapan utbk, sedangkan gue?

Hhahh.
Gue menghela napas cukup panjang padahal ini masih pagi, sangat pagi.
Gue belum menemukan bidang yang cocok sama gue, gue belum tahu apa yang gue suka, apa yang gue mau.

"Terus gimana? kamu nggak kuliah?"

"Emang kuliah itu penting banget ya?"

"Mama diemin kok kamu makin ngawur begini, sih, Njar?"

Kenapa sih? Kenapa selalu berakhir marah-marah setiap kali gue menanyakan kebingungan gue?

"Terus kamu pikir mama nggak malu gitu kalau ada acara kumpul keluarga dan saudara-saudara kamu tahu kamu nggak kuliah?"

Ahhh, semua memang anjay.

Lingkungan gue terlalu muluk untuk gue yang selalu punya keinginan yang biasa-biasa aja.

'Jadi apa kamu kalau nggak kuliah?'

Jadi apa kek!

Mana bentar lagi lebaran cuy, pusing banget gue tuh! Pasti pertanyaan itu bakal ditanyain lagi ke gue, terus mereka kompak menyudutkan gue seolah-olah gue pelaku kriminal yang pantas diinterogasi sampai mampus.

Pengen deh sebenarnya teriak bajingan dengan keras gitu di depan mereka, tapi ntar mak gue malu, terus gue kena damprat lagi kalau mereka udah pulang, kan repot ya! Jadi pada akhirnya kalau gue terjebak di situasi yang memuakkan kayak gitu, gua cuma ngedumel di dalam hati, luarnya? Jangan tanya, diluar gue cuma senyam-senyum sok nggak kenapa-kenapa.

"Kan nggak semua harus sekarang, Njar. Nggak semua harus cepet-cepet, nggak semua harus diburu-buruin cuma karena, biar kita nggak ketinggalan sama yang lain." kata Nando begitu gue ke rumah dia dan ceritanya tentang semua kebingungan gue tadi. Emang cuma dia yang bisa memahami gue, emang cuma dia yang bisa ngebuat gue sedikit merasa lebih baik. Pengen deh ngadopsi dia buat jadi kakak gue, tapi dianya nggak mau, karena katanya gue suka ngerepotin. Jujur banget emang.

"Terus gue mesti gimana?"

"Ya lo maunya gimana?"

Gue menghela napas lagi, maunya sih, nyari dulu apa yang sebenarnya gue pengen, tapi... gue nggak yakin mama bakal ngasih gue waktu, gue nggak yakin kalau mama punya pemikiran yang sama seperti Nando.

"Kalau tahun ini nggak kuliah, kan bisa tahun depan. Satu tahun ini bisa lo gunain buat lebih mengenal diri lo dan apa yang sebenarnya lo pengen, kalau pun nggak nemu, lo bisa cari tahu jurusan-jurusan perkuliahan, baru setelah itu lo putusin lo mau masuk kemana."

"Sokay, jangan sedih gitu mukanya." kata Nando yang sekarang ini udah menepuk kepala gue beberapa kali, kaann, gue jadi pengen punya abang seperti dia tau nggak.

Abang gue tuh sibuk, belajar mulu orangnya, bahkan gue sama dia jarang banget ngobrol. Paling dia ngajak gue ngomong kalau mau minjem barang doang, begitu juga dengan gue.

"Inget kata gue, nggak usah buru-buru. Lo dan mereka punya garis finish dan tujuan yang berbeda, kalau pun lo mulai di waktu yang sama, bukan berarti akan berhasil secara bersamaan juga kan?"

True.
Tapi Ndo, nggak semua orang mampu memahami hal itu.

"Kenapa napas aja sekarang beda ya."

"Gimana tuh maksutnya?" tanya Nando, menatap gue dengan kernyitan yang kuat. Dan tatapannya sekarang ini membuat gue lagi-lagi menghela napas pelan.
"Yaa... Kayak lebih berat aja rasanya."

"Tahu kenapa?" tanya Nando.

"Kenapa?" sahut gue.

Lalu dia senyum ke gue dengan gamang.

"Karena napas aja sekarang sambil mikirin hidup, Njar."

Satu detik... gue menatap dia.

Dua detik setelahnya, dia balik menatap gue.

Kemudian gue dan dia sama-sama menertawakan itu pada saat yang bersamaan. Lucu!

Padahal gue tuh pengen deh, hidup tanpa khawatir soal gimana ke depannya, kayak...Yang penting hari ini selesai dan gue bisa menutupnya dengan baik. Tapi nggak peduli seberapa keras gue berusaha untuk hidup dengan seperti itu, gue tetep nggak bisa, gue tetep menerka-nerka soal kemungkinan yang bisa aja terjadi dalam hidup gue, gue tetap takut akan hal-hal yang masih abu-abu-belum jelas.

"Ndo,"

"Hmm?"

"Lo ngerasain apa yang gue rasain nggak sih, waktu pertama kali lo lulus sekolah?"

"Ya sama aja sih."

Nando-dia duduk di samping gue setelahnya, sementara matanya menatap teduh pada arak-arakan awan yang masih bisa kita lihat dari teras dia.

"Waktu itu, gue cuma dapet uang saku sekitar dua juta dari panti, satu juta buat kos selama satu bulan dan sisahnya buat makan, setelah itu, pilihan untuk lanjut atau berhenti bener-bener kayak di depan mata." Nando ketawa, juga mencoba mengingat gimana peliknya awal milik dia.

"Dan lo akhirnya milih buat lanjut! keren!"

Lagi, dia ketawa.

"Selama ini gue nggak punya pencapaian apa-apa Njar, ngga ada yang bisa gue banggain ke mereka selain bentuk pertahanan gue."

"Jadi gue harap, mereka bisa melihat gimana gue berjuang selama ini di tempat lain, berjuang buat terus hidup selama mungkin."

"Mereka juga harus tahu sih kalau lo punya temen seasik gue." gue berkata narsis, ngebuat Nando menoleh dengan lirikan kurang suka, kayak 'Wahh percaya diri banget lu?'

"Tapi emang iya sih."

Kannn. Gue bilang juga apa.

"Dahh sana pulang, ntar dicariin mama lo."

"Lo... beneran putus sama mbak Iren?" tanya gue yang alih-alih dengerin dia lalu pulang.

Salah nggak sih gue nanya ini ke dia? Tapi setahu gue, Nando emang sesayang itu sama mbak Iren, begitu juga dengan sebaliknya. Dan gue tahu, nggak semua orang yang pergi dari kita benar-benar menginginkan itu.

"Kenapa nggak coba buat nemuin dia dan bicarain lagi soal hubungan kalian sih?"

"Apanya lagi yang mau dibicarain, semua udah jelas kali, Njar."

"Jelas gimana?"

"Jelas, gue nggak bisa ngasih dia kepastian sampai hari ini dan dia nggak bisa nunggu gue lagi, jadi jalan satu-satunya ya selesai, karena kami sama-sama nggak bisa memaksakan apa pun."

"Ndo,"

"Nggak apa-apa kalau memang setelah ini dia bakal bersama--sama orang yang jauh lebih baik ketimbang gue, karena Iren berhak dapetin semua itu."

Semua yang jauh lebih baik dari apa yang pernah Nando kasih ke dia.

Iya, itu yang Nando maksut.




LIFE AND PROBLEMSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang