Dewasa dan mimpi untuk Haidar

5 1 0
                                    

Dewasa tuh... lebih banyak tentang berdamai kayaknya.

Sama diri kita, sama keadaan, sama hal-hal yang enggak kita suka tapi itu malah terjadi. Tapi ya, yaudah, mau gimana lagi, toh ada beberapa hal yang memang nggak bisa diubah kan? Yang di mana mereka ada cuma untuk diterima, jadi alih-alih terus mencari cara untuk merubah hal-hal enggak enak itu, perlahan-lahan yang gue lakukan justru memberi pengertian lain ke diri gue, seperti, 'Emang udah jalannya kayak gini.' atau, 'Emang itu bukan bagian dari takdir lo,' atau, 'Waktu lo untuk satu hal udah selesai,'

Banyak hal yang udah gue lalui nggak jarang membuat gue sangat capek, membuat gue sangat marah sampai gue pengen punya objek untuk bisa gue maki-maki, untuk gue pukul sepuasnya gue, bahkan kalau itu adalah bayangan dari diri gue sendiri, mungkin udah gue lakukan, karena gue memang butuh pelampiasan yang lain, bukan cuma diam dan nangis seperti yang sudah-sudah.

Dulu, ketika gue sedih atau nggak baik-baik aja, yang gue butuhkan cuma diri sendiri, gue nggak butuh orang lain untuk memeluk gue, gue nggak butuh orang lain untuk menenangkan gue, gue nggak butuh orang yang datang ke gue lalu bilang, 'Jangan nangis', gue nggak butuh orang yang datang ke gue dengan banyak pertanyaan ini dan itu, gue benar-benar cuma butuh diri gue sendiri juga tempat yang bisa membuat gue mengeluarkan emosi yang memang ingin gue keluarkan pada saat itu.

Kalau ditanya berat nggak, sih, ngelewatin banyak hal nggak enak sendiri?

Ya berat.

Bahkan untuk ukuran orang yang sepertinya nggak butuh sosok orang lain dalam hidupnya seperti gue, sebenarnya ada saat di mana gue mengaku, kalau gue butuh seseorang untuk di samping gue, seseorang yang bisa ngasih gua pemahaman yang nggak bisa gue dapet dari seseorang yang lain.

Ada saat di mana, gue juga butuh pelukan dari orang lain, gue butuh uluran tangan dari orang lain, gue butuh bantuan dari orang lain karena satu masalah yang terlalu berat untuk gue pikul sendiri.

Gue sadar, gue nggak bisa menyalahkan orang terdekat gue, hanya karena gue merasa, mereka nggak bisa memahami apa maunya gue meski pun mereka sudah lama mengenal gue, karena beberapa alasan tentunya, dan yaa... gue sadar, setiap orang punya kesibukkan masing-masing, setiap orang punya masalahnya sendiri, punya kemalangannya sendiri, jadi gue memilih untuk memendam semuanya sendiri, tentang apa yang gue rasakan, tentang apa yang membuat gue pengen marah, tentang hal berat yang gue rasa terlalu membebani gue, gue memilih untuk menelannya sendiri, dan begitu gue udah baik-baik aja, gue akan berlagak, emang nggak ada apa-apa selama ini, seolah hari-hari berat dan panjang itu nggak pernah gue alami.

"Dar, gue terpilih jadi salah satu pemain timnas."

Waktu itu gue langsung senyum lebar, memeluk dia dan menyalami tangannya dengan menepuk pundak dia beberapa kali. Senang? Iya, gue senang, karena akhirnya salah satu teman gue ada yang beneran masuk timnas sesuai mimpi mereka.

"Lo baik-baik aja kan?"

Nggak.

Tapi hari itu gue masih bisa bohong dan menyimpan sedih dan kacaunya gue sendiri. Gue masih bisa menghandle perasaan tai ini.

"Baik, baik kok."

Kayaknya gue adalah pembohong besar.

"Syukur, gue khawatir kalau lo masih down karena musibah yang menimpa lo satu tahun lalu."

Tapi kenyataannya memang masih. Kenyataannya gue masih terpuruk, kenyataannya gue masih sering nggak tidur dan nangis sendirian di kamar, meratapi kenapa hal semacam itu justru terjadi ke gue, hal semacam itu justru terjadi pada orang yang punya cita-cita jadi pemain sepak bola.

Bicara soal mimpi, mimpi tuh enak ya... Indah. Tapi begitu lo merasa lo punya tanggung jawab buat mewujudkan mimpi lo dan lo memutuskan untuk mulai, perlahan-lahan malah lo tersakiti dengan banyak hal yang berkaitan dengan mimpi itu sendiri.

Kata kakek gue dulu, 'Nanti kalau kamu sudah besar, nggak apa-apa kalau pun kamu nggak jadi apa-apa. Cukup jadi anak yang nggak merepotkan orang tuamu, cukup jadi kakak yang bisa bertanggung jawab atas adik-adikmu sampai mereka bisa menghidupi hidupnya sendiri, kalau Tuhan memang memberi kamu adik, dan cukup jadi adik yang baik buat kakakmu.'

Tapi, Kek, cucumu ini nggak bisa menjalani hidup dengan cara sesederhana itu.

Kalau beliau masih ada, itu yang pengen gue sampaikan.

Ternyata gue punya mimpi, dan ternyata, ada ambisi kuat dalam diri gue, sehingga dalam fase hidup yang gue jalani, gue sempat berusaha keras mewujudkan mimpi itu.

Tapi pada akhirnya gue kalah, dan pada akhirnya gue memilih untuk menyerah, dengan memberi pemahaman lain ke diri gue, untuk menyudahi semuanya karena bisa jadi, jadi pemain timnas bukan bagian dari takdir gue.

Kalau sekarang ada yang nanya cita-cita gue apa? Jawaban yang paling tepat sepertinya nggak ada.

Nggak ada lagi yang pengen gue wujudkan, nggak ada lagi yang pengen gue perjuangkan dengan keras, gue cuma berusaha melakukan semuanya dengan baik, dengan harapan hasilnya sesuai dengan harapan gue, udah itu aja.

Nggak tahu, antara gue yang masih takut dengan kegagalan yang pernah gue alamin, atau emang gue bener-bener udah nggak punya mimpi.

'Nggak papa kan, Kek, kalau Haidar bener-bener nggak jadi apa-apa? Nggak papa kan kalau Haidar benar-benar menjalani hidup sesederhana itu?'

  °°°

Hal yang selalu gue dapatkan ketika gue bepergian bersama kakak gue, jadi pusat perhatian banyak orang, yang gue nggak suka, mereka nggak berhenti menatap kakak gue sampai sosok kakak gue nggak bisa lagi mereka jangkau dengan mata mereka.

Gue nggak ngerti apa yang mereka pikirkan, tapi caranya melihat dan mengamati kakak gue membuat kakak gue nggak nyaman, terbukti dari gimana kakak gue menunduk, menggaruk jarinya dengan jari yang lain, dan bernapas dengan gelisah seperti sekarang. Percaya nggak percaya, tapi orang seperti kakak gue justru punya kepekaan yang sangat tinggi.

Tapi apa bisa gue menghentikan mereka? Enggak. Jadi yang gue lakukan hanya meraih satu tangan dia dengan seulas senyum tipis ketika dia menoleh.

"Nggak papa. Jangan terlalu khawatir."

Selagi ada gue. Selagi gue di samping dia.

"Duduk, Kak."

Dan begitu kita sampai di tempat yang kita tuju, gue selalu menyuruhnya untuk duduk, tapi dia juga selalu nggak berlagak nggak mendengar gue, dengan terus berdiri. Berdiri dengan bola mata yang ke sana ke mari, berdiri dengan tangan yang lagi-lagi saling bertaut.

Tapi gue tahu, ketika gue nangis seperti sekarang, di depan makam kakek, gue tahu dia juga sama sedihnya, tapi berbeda dengan gue, semua emosinya nggak benar dia keluarkan dengan benar. Yang membuat gue akhirnya menatap dia dengan tangan terkepal, ketika gue nggak bisa berbuat banyak buat dia.

Ketika gue jadi seorang adik yang nggak bisa ngasih apa-apa ke kakak gue.

'Kalau nanti kamu sudah besar, kamu akan bagaimana? Memilih untuk tinggal sendiri dan meninggalkan kakakmu menjalani hidup tanpa kamu? Atau terus bersama dia?'

Saat itu gue cuma diam, nggak tahu, bahkan gue masih berumur sembilan tahun, tahu apa soal perkataan kakek.

Tapi kemudian kakek gue senyum dengan helaan napas pelan.

"Cari perempuan yang bukan cuma bisa nerima kamu, ya, Dar, tapi juga kakak kamu, cari perempuan yang nggak keberatan kalau pun kamu akan hidup selamanya bersama kakak kamu, cari perempuan yang mau kamu ajak buat merawat kakak kamu."

Dan, Kek, kalau pun pada akhirnya Haidar nggak menemukan perempuan seperti itu, mungkin Haidar memilih buat nggak bersama siapa pun, supaya Haidar bisa terus merawat dan menjaga dia.





LIFE AND PROBLEMSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang