Coba mencari

3 1 0
                                    

Anjar.

Apa yang gue suka?

Apa yang gue mau?

Dan apa yang akan gue tuju, juga gue perjuangkan dengan keras?

Gue berpikir dan bersungguh-sungguh untuk saat yang lama, dengan harapan setelah itu gue akan langsung tahu, 'ohh ini loh yang gue suka.

'Ini loh yang gue mau,'

Tapi yang terjadi apa? Gue malah menjatuhkan tubuh gue ke kasur dengan helaan napas yang panjang, sangat panjang.

Kadang sesusah itu emang buat mengenal diri lo lebih jauh.

Dan ada saat di mana kita nggak bisa memaksakan apa pun kan? Gue yang sekarang juga seperti itu, gue nggak bisa maksain diri gue untuk suka akan satu hal, supaya gue punya tujuan, nggak bisa. Kalau pun gue melakukan itu, yang ada gue membohongi diri gue sendiri, lagi-lagi demi orang lain.

Jadi sampai kapan gue begitu? Sampai kapan gue harus menjalani sesuatu yang enggak gue inginkan? Sampai kapan gue harus menurut untuk sesuatu yang enggak gue mau tapi kata mereka, itu demi kebaikkan gue?

Pernah nggak sih lo pengen ngejauh dari semua orang yang lo kenal? Pernah nggak lo pengen sendiri untuk saat yang sangat lama? Alasannya cuma sesederhana pengen cari yang namanya ketenangan. Sesederhana pengen hilangin berisik yang orang nggak tahu, karena berisik itu ada dalam kepala lo dan mereka nggak punya kemampuan untuk mendengar satu suara pun dari sana. Cuma lo yang tahu, cuma lo yang paham, tentang gimana berisik itu hampir ngebuat lo gila dan takut akan hal-hal yang belum tentu terjadi.

Hhahh...

I hate it more than everything.

"Njar,"

Gue yang baru memejamkan mata membuka mata lagi.

Sementara pintu kamar gue dibuka dengan dorongan pelan dari luar, membuat gue bangun dan mendapati Abang gue berdiri di sana.

Tahu apa yang pertama kali gue lakukan setelah itu? Gua coba ngelirik meja, cari keberadaan charger gue, cari keberadaan flashdisk kosong yang belum gue pakai sama sekali, sampai kemudian gue menoleh ke belakang dan bernapas lega ketika menemukan laptop gue.

Tapi Bang Rama justru makin membuka lebar pintu kamar gue dengan helaan napas panjang, sebelum akhirnya dia menutup pintu itu lagi, selanjutnya dia malah duduk lalu menatap gue lurus-lurus tanpa dibarengi kalimat yang biasanya gue denger dari mulutnya. Seperti, 'Abang pinjem charger,'

'Abang ke sini mau pinjem laptop sebentar,'

Atau kalau tidak,

'Kamu ada flashdisk kosong nggak?'

But now, semua pertanyaan itu... nggak ada yang dia tanyakan satu pun.

Jadi kedatangan dia ke kamar gue kali ini untuk apa?

"Kata mama kamu nggak mau kuliah."

Gue hampir membulatkan mulut gue persis membentuk huruf O yang sempurna tanpa suara, tapi nyatanya, gue justru tertawa setelahnya. Jadi mama udah ngasih tahu Bang Rama soal ini. Terus gue mesti gimana? Toh sampai kapan pun mereka nggak akan bisa memahami gue.

Yang gue katakan ke mama, gue butuh waktu untuk seenggaknya berpikir setelah ini gue akan ke mana, gue butuh waktu untuk menemukan bidang apa yang gue minati, yang gue katakan, gue nggak mau buru-buru dan berakhir grusak-grusuk nggak jelas, tapi yang mama tangkep justru lebih sederhana dari apa yang gue sampaikan secara panjang dan lebar.

"Di luar sana, banyak yang pengen dapet kesempatan ini."

"Tau." Gue menyela dengan menatap mata Rama nyalang. Gue tahu kalau di luar sana banyak anak yang pengen kuliah tapi finansial mereka nggak mencukupi sehingga mereka harus bekerja dengan keras. Jadi kesimpulan yang dia tarik apa? Gue adalah manusia yang nggak bisa bersyukur dan nggak tahu diri? Begitu?

"Kalau kamu emang udah tahu, terus kenapa kamu berniat nyia-nyiain kesempatan itu?"

Kan!

Gue bilang juga apa, mereka nggak bakal paham.

Jadi pada akhirnya gue hanya akan capek sendiri.

Pada akhirnya kayak percuma ketika gue coba ngasih tahu mereka what I feel, tapi mereka nggak pernah berusaha buat sedikit aja mengerti.

Di saat-saat seperti ini, gue pengen nangis, kenceng, tapi yang gue lakukan justru sebaliknya, wajah gue merah padam dan mata gue melirik dengan tatapan nggak terima, sangat menjelaskan kalau gue marah.

Kenapa sesusah itu ya buat bilang ke mereka kalau gue butuh waktu buat nentuin tujuan gue, kenapa sesusah itu buat bilang ke mereka kalau gue nggak bisa gerak sebelum nemuin tempat yang ingin gue tuju, kenapa?

"Abang nggak masalah kalau kamu kuliah tahun depan, tapi yakin kalau saat itu kamu udah punya sesuatu yang kamu minati? Kalau tahun depan tetap kayak gini kamu akan ambil langkah seperti apa? Nunda-nunda lagi? Ngulur-ngulur lagi?"

Apa yang salah dengan semua ini, sih?

Apa yang salah dengan nggak mengambil langkah apa pun ketika lo sendiri bahkan nggak tahu mau kemana.

   °°°

Alasan kenapa gue sering keluar rumah bahkan dicap sebagai orang nggak jelas oleh beberapa tetangga gue karena nggak lain dan nggak bukan ya gue nggak betah. Napas aja gue ngerasa diintimidasi. Buat gue, rumah yang gue tempati nggak punya definisi yang istimewa, rumah yang gue tinggali ya hanya sekedar rumah yang di mana gue bisa tidur tanpa kepanasan dan kehujanan.

Sebaliknya, tempat paling nyaman untuk gue justru rumah pohon di dekat kawasan kontrakan Nando yang kalau hujan pasti bocor, kalau siang pasti panas dan gerah bukan main. Tapi anehnya gue betah di sini untuk waktu lama, gue betah di sini selama seharian terlepas gimana cuaca saat itu. Karena ini nggak semata-mata di mana gue dan tempat semacam apa yang gue singgahi, ini tentang orang-orang yang membersamai gue, ini tentang gimana mereka yang mengerti gue, ini tentang mereka yang bisa gue cari ketika gue lagi nggak baik-baik aja, dan ini tentang mereka yang selalu bilang, 'Jar, lo udah ngelakuin banyak hal hebat selama ini,' di saat orang-orang terdekat gue terlalu sibuk sampai nggak pernah menyampaikan kalimat itu ke gue.

"Sokay, sokay Njarr." Mbak Rania terus menepuk pundak gue pelan, dan membiarkan gue nangis di pahanya dengan peluk dia erat, sedangkan yang lain juga gue yakin lagi menatap gue dengan atensi penuh, tapi tahu apa yang ngebuat gue lebih respect ke mereka? Nggak ada satu pun dari mereka yang mempertanyakan alasan gue nangis, mereka hanya nyediain ruang buat gue dimana gue bisa ngelupain semua ini, mereka hanya ngerentangin tangannya dan membiarkan gue menumpahkan semuanya ke mereka.

LIFE AND PROBLEMSWhere stories live. Discover now