01 - Gilbert - Golden Eyes

499 31 1
                                    

Aku akan membunuh perempuan itu.

"Ingat apa yang harus kaulakukan di sana, Gill?"

Apa aku terlihat bodoh?

"Tentu, Ibunda." Tersenyum, Gilbert. Lebarkan bibirmu wajar mungkin. Tersenyum! "Aku sudah mempersiapkan buket bunga dan menghafalkan dengan baik apa yang harus kuucapkan nanti."

Hening.

Suara mesin mobil yang hampir tak terdengar tak banyak membantu mengatasi situasi canggung ini.

"Sebaiknya kau tidak mengacau, Gill."

Sinar matahari menembus jendela mobil dan menyinari wajah seorang pria yang duduk di bagian kendali mobil. Tidak ada senyuman, atau ekspresi apa pun di wajahnya.

"Baik, Ayahanda."

Lagipula, ini tugas yang lebih mudah daripada lainnya. Aku cukup percaya diri, aku tidak akan mengacaukan apa pun hari ini.

Kami sampai di rumah—bangunan ini lebih tepatnya disebut istana. Sebuah villa besar yang terlihat seperti sebuah kastel kerajaan zaman dahulu kala. Bangunan tua ini terletak jauh di dalam area perbukitan, dikelilingi hutan dengan penjagaan ketat dengan jarak diameter lebih dari dua kilometer dari rumah utamanya. Pengamanan super ketat yang bahkan seekor lalat akan dibunuh di tempat jika nekat melewati penjagaan.

Aku ... tidak memahami jalan pikiran orang-orang konglomerat seperti mereka, meski sudah bertahun-tahun tinggal bersama.

"Lucas! Mikhaela! Selamat datang!" sambut seorang laki-laki paruh baya, si pemilik kastel yang terlihat seperti Bowser, si tokoh jahat. "Oh, hai, Gilbert kecil. Hai, teman. Kau sudah menjadi jauh lebih tinggi daripada terakhir kita bertemu," ucap pria itu seraya merunduk untuk menyeimbangi tinggiku.

Oh, andai kau tahu, Paman, bagi semua orang di sekitarku, tinggi dan berat badanku jauh lebih penting daripada kesehatan mentalku. Jadi, ya, terima kasih atas pujiannya, aku tahu.

"Terima kasih, Mario. Selamat atas kelahiran anak perempuanmu."

Bagi seseorang yang berbentuk seperti Bowser, tapi memiliki bernama Mario, lelucon apa lagi yang lebih lucu daripada orang ini? Mario menerima buket bunga yang aku berikan untuknya, kemudian mengangguk puas dan mengelus rambutku. Rambut yang sudah ditata rapi sejak sebelum sarapan pagi tadi. Tolong jangan dikacau. Aku melirik Ibunda dan mataku disambut dingin oleh mata biru gelap wanita itu. Aku membetulkan rambutku diam-diam tanpa sepengetahuan mereka.

"Ayo, Nak. Kau pasti tidak sabar melihat sepupu perempuanmu!"

Mario menyuruh salah satu pelayan yang mengikutinya untuk menuntunku berpindah ruangan. Sementara Ayahanda dan Ibunda memilih untuk bercakap-cakap dengan sang pemilik rumah. Setelah berpamitan pada mereka bertiga dengan menunjukkan senyuman terbaik yang bisa kulakukan, tanpa menghabiskan waktu lagi aku pergi mengikuti pelayan perempuan di depanku.

Demi apa pun, aku ingin bernapas dengan damai.

"Gill! Selamat datang!"

Sebuah pemandangan yang bahkan lebih indah dari lukisan zaman Renaissance. Wanita itu, Selene Benilli, istri Mario sudah menungguku. Sosoknya bagai keluar dari lukisan, menggendong bungkusan kain kecil dalam dekapannya. Selene mengenakan gaun tidur putih yang terurai hingga lantai. Wajah cantiknya terlihat lelah, tapi senyuman wanita itu tidak hilang-hilang dari bibirnya yang senantiasa merona. Mata wanita itu terarah pada bayi perempuan yang sedang memainkan anak rambutnya yang terurai di antara pipi dan pundaknya.

"Selene, selamat atas kelahiran putrimu," ucapku dengan sesopan mungkin.

"Ya, Gill. Terima kasih. Mendekatlah kemari. Lihatlah malaikat kecil ini!" Selene meletakkan bayi itu di kasur kecil dekat jendela. Kemudian menepuk-nepuk bangku yang ada di sekitar kasur kecil itu. "Kau harus melihat saudarimu lebih dekat."

Her POV (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang