25 - Gilbert - His Death

45 12 0
                                    

"Da-da!"

Namanya Bertram. Kudengar, di tahun video itu dibuat, dia masih berumur tiga. Dari layar tab di tanganku, kulihat dia berlarian di lapangan hijau. Sebagai latar belakang, terlihat ladang bunga, dua ekor kuda dewasa dan seekor poni tak jauh dari manusia kecil memakai overall denim dengan sepatu putih yang sudah kotor dengan tanah.

"Little cub!" seru pria berpakaian kembar dengan si bocah. Bedanya adalah ukuran yang tidak masuk akal besarnya itu.

Pria itu meninggalkan kapak yang dia gunakan untuk memotong kayu-kayu besar untuk berlari menangkap kembarannya versi kecil. Rambut mereka sama-sama keriting merah. Kepala mereka seperti terbakar di bawah terik matahari di musim panas itu. Kulit mereka merah di bawah sinar matahari, seperti direbus. Tapi jika aku melihatnya baik-baik, Bertram tidak memiliki mata kelabu ayahnya. Mata bocah itu berkilauan, warna emas seperti makhluk kecil itu keluar dari buku fantasi anak-anak.

"Gilbert, pesawat sudah siap."

"Ah, terima kasih, Trice."

"Ah, dan Tuan Meyer bilang dia ingin bertemu denganmu."

"Kapan?"

"Makan malam, pukul tujuh."

"Di mana?"

"Rumah."

Satu kata yang membuatku baru saja menyadari betapa lelahnya punggungku.

"Kau bisa mengambil cuti, kau tahu. Jika kau cukup sibuk untuk melupakan ulang tahun ibumu malam ini, aku masih cukup cerdas dan baik hati untuk mengingatkannya untukmu, Gilbert. Mikaela Meyer akan berulang tahun yang ke enam puluh hari ini."

"Aw, sakit," ujarku sambil memegangi dadaku sendiri. Guyonan wanita yang sudah berkeluarga seperti Beatrice dan karyawan perempuan lainnya tak ayal memiliki ketajaman di tingkat tertentu yang selalu berhasil merasa bahwa aku masihlah sseoran manusia yang bisa sedikit merasa sakit hati. "Thanks, Trice. Bagaimana pendapatmu jika aku mengambil cuti selama satu minggu untuk meluangkan waktu bersama keluarga?"

Beatrice diam cukup lama di depan pintu kantorku kemudian membalikkan heels-nya mengarah padaku.

"Kau serius?"

"Tentu saja serius. Jika kau tidak keberatan menggantikanku selama seminggu?" balasku enteng sambil mengangkat bahu sekali. "Kalau kau tidak keberatan, mungkin aku bisa mengambil cuti sebulan dan—"

"Lima hari, atau aku lebih baik bekerja di pabrik saja."

"Aku akan merindukanmu kalau kaupergi, kau tahu."

Beatrice menghela napas lelah. Dia pasti sedang menahan dirinya untuk tidak menunjukkan tanduk, atau taringnya, atau sayap hitam seperti kaki bebek, kemudian terbang dan menerkamku, merobek bagian torso dan mengeluarkan apa pun yang ada di dalamnya. Aku bahkan bisa melihat itu di mata wanita yang selalu terlihat lelah saat menatapku itu.

"Kau akan membeli kado untuk ibumu sendiri atau gimana?" tanya Beatrice dengan malas, tapi masih cukup dermawan dengan berusaha sedikit tersenyum pada atasannya yang tidak tahu diri ini.

"Aku tidak setidaktahu diri itu untuk memberikan hadiah pilihanmu atau orang lain sebagai kado ulang tahun ibundaku tersayang."

"Akhirnya, sesuatu yang bukan omong kosong," katanya sambil menyebrangi keluar pintu dan memberiku senyum palsu yang kami sama-sama tahu, kami benci. "Sampai jumpa lima hari lagi, Tuan Gilbert Meyer."

Aku yakin enam hari lagi, Beatrice tidak akan tersenyum lagi padaku sampai setidaknya tahun depan. Well, aku memang tidak membayarnya untuk melakukan itu.

Her POV (COMPLETED)Where stories live. Discover now