03 - Gilbert - An Awkward Gardener Boy

87 19 0
                                    

"Tuan Muda sungguh luar biasa!"

"Anda terlalu memuji saya, Madam."

Kelas biola hari itu akhirnya selesai juga. Hari libur seperti ini pun, jadwalku padat sekali. Di pagi hari, aku ber-jogging kurang lebih dua mil untuk sampai di area latihan tembak. Kemudian berlatih tembak hingga siang hari. Makan siang kuhabiskan bersama Madam Patricia, pengajar kelas etika. Lalu beristirahat sebentar di perpustakaan kemudian pergi ke dojang untuk berlatih taekwondo. Sore menjelang malam, kelas terakhir hari ini adalah piano. Ketika hari libur selesai, aku masih harus menghadiri kelas di kampus, mengerjakan tugas, menyelesaikan pekerjaan di kegiatan kampus, kemudian kembali ke dojang di sore hari sebelum bisa pulang dan beristirahat.

"Aku masih hidup," bisik pada diriku sendiri begitu aku merebah di atas ranjang.

Bagaimana aku masih bisa hidup?

Aku menutup mata, yang terlihat adalah permukaan laut.

Sepasang sepatu kecil berwarna pink.

Roti yang tercecer di tanah.

Kenapa aku tetap hidup?

"Gloria," bisikku pada keheningan.

"Makan malam, Tuan Muda?" ucap sebuah suara, diiringi dengan ketukan dua kali di pintu kamarku.

Itu adalah Benjamin, pelayan laki-laki yang sudah melayani keluarga ini sejak sebelum aku tinggal di rumah ini.

"Iya, terima kasih, Ben."

Aku dan Ben berjalan beriringan untuk pergi ke ruang makan.

"Apakah Ayahanda dan Ibunda sudah pulang?"

"Nyonya baru saja pulang. Beliau sedang bersiap untuk menghadiri sebuah perayaan di Belgia."

Tipikal.

"Bagaimana dengan Ayahanda?"

"Tuan Besar belum kembali dari Jerman sejak beberapa hari lalu, Tuan Muda."

Oke. Makan sendirian lagi-

Suara heels yang beradu dengan lantai marmer, suara yang tidak berasal dari sepatuku, atau sepatu Ben, menarik perhatianku. Begitu aku melihat dengan jelas di pintu ruang makan, seorang wanita dan seorang di belakangnya, sedang berdiri di sana. Tubuhnya tinggi, kurus dengan tatanan rambut sewarna langit malam yang ditata naik. Matanya sewarna permukaan laut malam itu. Biru, nyaris hitam. Warna yang, kata semua orang, identik dengan warna mataku.

"Selamat sore, Ibunda," ucapku dengan sopan seraya menunduk dan meletakkan tangan kananku di depan dada.

Seperti Selene, Mikhaela Meyer adalah keturunan bangsawan murni yang membuat lingkungan di rumah ini, atau apa pun di sekitarnya terasa begitu mewah dan elegan. Aku pun dididik selayaknya anggota kerajaan meski semua orang tahu, ayahku, Lucas, adalah bangsawan kelas rendah yang stratanya tidak sebanding Ibunda. Dari apa yang aku dengar, pria itu mempertaruhkan segalanya untuk menjadi seorang konglomerat yang menikahi Mikhaela demi mendapatkan tambang mineral di kerajaan wanita itu. Sedangkan dari apa yang aku dengar, Mikhaela bersedia menikahi Lucas demi keluar dari keluarga kerajaan dan hidup dengan bebas.

Yang jelas, aku tidak akan pernah tahu kenyataan yang sudah terjadi dan benang nasib seperti apa yang mengaitkan mereka berdua.

"Selamat sore, anakku," balas Ibunda diikuti dengan langkah kaki yang berjalan mendekat ke arahku.

Aku menelan ludah. Kemudian memberanikan diri menegapkan tubuhku untuk menghadapnya.

"Sejak kapan tinggimu menjadi sama denganku?" tanya wanita itu seraya mengusap pundakku dengan lembut.

Her POV (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang