32 - Gilbert - Big Betram

53 10 0
                                    

Ibunda memintaku untuk tidak mengotori tanganku lagi. Aku tidak akan membunuh mereka.

Aku pulang ke rumah tengah malam. Bertram sudah terlelap di kamar. Rumah kecil kami hanya ada dua kamar. Jadi, aku tidur dengan Bertram.

"Baru pulang?"

Di belakang punggungku, Ophelia sedang menunggu. Dia bersandar di kusen pintu kamarnya dengan kedua tangan sedang terlipat di depan dada.

"Iya. Kenapa kau belum tidur?"

"Aku menunggumu. Bukankah ada yang harus kita bicarakan?"

Oh, mungkin masalah sekolah Bertram. Aku melepas jaketku dan menggantungkannya di dalam kamar, lalu berjalan keluar dan menutup pintu kamarku agar Bertram bisa tidur dengan tenang. Ophelia menggandeng tanganku. Aku membiarkannya menuntunku ke dalam kamarnya.

"Apa ini undangan untuk-"

"Kau akan memindahkan sekolah Bertram."

Wanita itu duduk di pinggiran kasur, menunggu, terlihat sedang marah. Aku bersimpuh di depannya, kemudian memijat kedua telapak kakinya.

"Maaf, aku belum bicara apa-apa tentang ini denganmu."

"Kita harusnya sudah belajar dari kesalahan kita di masa lalu. Karena itu, aku tidak tinggal diam dan menerima saja apa yang terjadi." Ophelia menatapku tegas. "Kita bahkan belum membicarakan apa yang akan kita lalukan setelah ini."

Aneh sekali. Aku bahkan tidak pernah berpikir bahwa aku ingin dimarahi oleh seseorang setiap hari. Tidak, tidak, pikiran ini tidak sehat.

Memang pikiranku pernah sehat?

"Ophelia."

"Ya?"

"Maaf, karena aku lagi-lagi tidak berkata jujur padamu. Aku menyesal telah membuatmu merasa seperti tertinggal sendirian seperti ini. Maafkan aku."

Ophelia mengambil napas panjang, kemudian menghelanya perlahan. Mata keemasan itu mengamatiku beberapa detik dalam diam, kemudian dia mengangguk sekali.

"Aku tidak bisa melihat Bertram diperlakukan seperti itu. Saat itu aku melihatnya duduk sendirian. Kepalanya diperban. Ada bekas darah di sana. Melihat itu, kepalaku rasanya gelap. Yang ada di kepalaku pikiranku hanya ... aku harus membawa Bertram pergi dari tempat itu."

Pipiku hangat. Ophelia menangkup kedua pipiku dengan tangannya. Ia mendongakkan kepalaku agar aku menatap matanya. Mata yang terlihat sedih. Padahal aku sudah berjanji pada diriku sendiri agar tidak membuat Ophelia membuat wajah seperti itu lagi.

"Ophe-"

"Bertram ada di sini bersama kita," katanya, kemudian dia menunduk untuk menciumku sekali. "Kau tidak perlu menyalahkan dirimu sendiri. Tidak akan ada yang mengambil Bertram dari kita. Aku berjanji."

Malam itu adalah malam yang panjang. Aku duduk di atas kursi di samping ranjang Ophelia yang telah terlelap. Ophelia terlihat lemah dan naif. Tapi dia memiliki kekuatan yang sangat besar yang membuatnya bisa memahami aku lebih dari diriku sendiri.

Saat aku melihat Bertram duduk merenung dengan kepala di perban, seperti aku sedang melihat diriku sendiri yang menunggu penghukuman yang akan diberikan orang-orang dewasa karena aku telah melakukan perbuatan keji. Waktu itu, tidak ada yang memelukku. Tidak ada yang bilang aku akan baik-baik saja. Yang menatapku adalah mata tajam Ayahanda yang mirip dengan caraku melihat dunia. Karena kami mirip, aku merasa lebih aman.

Tapi Bertram tidak melakukan tindakan keji apa pun. Dia adalah anak yang sangat baik. Seperti Ophelia dan Rufus. Mereka tidak tinggal di dunia yang sama denganku atau Ayahanda. Karena kami sama sekali berbeda, aku merasa takut.

Her POV (COMPLETED)Where stories live. Discover now