HASIL KARYA CERPEN RANTI HALIZA HABIBAH

49 0 0
                                    

Selusin Piring Pisin

Entahlah, sepertinya dunia ini penuh akan derita. Derita orang-orang yang ditindas oleh kapitalis. Hal inilah yang membuatku, seorang anak perempuan dari keluarga menengah ke bawah menjadi seseorang yang pekerja keras demi menghidupi sang ibu dan adik tercinta.

Di tengah kondisi ekonomi yang sulit, aku tetap rajin belajar menuntut ilmu. Walaupun memang aktivitasnya sangat padat, aku tetap berusaha sekolah setinggi-tingginya.

"Arini, ibu pergi bekerja. Nasi sudah ibu tanak, pastikan adikmu tidak bekerja lagi." ucap ibu arini

"Iya, hati-hati di jalan." jawab arini.

Sudah 2 minggu ibu ikut bekerja mencari uang sebagai pengumpul barang bekas yang nantinya akan ditimbang oleh pengepul. Sedih rasanya melihat ibu yang sudah tak lagi muda, ikut mencari nafkah demi mengais rezeki. Padahal sudah diingatkan untuk tidak bekerja, tetapi ibu memaksa dengan dalih "tidak seharusnya aku bekerja, karena tugas orang tua adalah menunjang segala kebutuhan anaknya."

"Tak apa bu, arini saja yang bekerja. Bukan masalah besar ikut mencari uang untuk kebutuhan keluarga."

Sudah belasan kali aku berbicara begitu kepada ibu, tetap saja ibu tidak menggubrisnya, mungkin ibu merasa tidak enak karena belum memberikan yang terbaik untuk anak-anaknya. Ditambah lagi 3 hari yang lalu adikku, Aris ikut bekerja mengangkut beras dari pasar menuju gudang tempat penyimpanan.

Saat mengetahui hal itu, aku merasa cemas karena jika ibu tahu maka ia akan dimarahi bahkan mungkin akan dipukuli. Kenyataannya ibu menangis tersedu-sedu menyebut-nyebut nama ayah yang sudah meninggal 4 tahun yang lalu karena penyakit jantung. Ibu merasa gagal menjadi orang tua setelah melihat adikku ikut bekerja.

Lalu saat aku bertanya kepada adikku, dia mengatakan bahwa akan ada kegiatan study tour di sekolah dan ia ingin ikut. Mendengar hal tersebut aku mengatakan..

" Tidak usah bekerja lagi, pekerjaan itu terlalu berat untuk anak seusiamu. Kapan kegiatan itu akan dimulai ?" tanyaku.

"Masih 1 bulan lagi."jawabnya.

Adikku masih duduk di bangku Sekolah Menengah Pertama, dan aku sedang menuntut ilmu di perguruan tinggi semester 3. Wajar saja bagiku jiga ia sungkan meminta uang kepada ibu, karena melihat kehidupan sehari-hari saja sudah susah. Ia juga tidak berani meminta uang kepadaku, mungkin ia menyangka bahwa aku lebih kesulitan dibandingkan dia.

Jujur, memang ya. Aku merasa kesulitan semenjak ayah pergi meninggalkan kami sekeluarga. Tetapi aku sadar, tetap harus melangkah maju demi merubah kembali kejayaan keluarga kami seperti dulu.

Hari itu, datang seorang pria yang menemui ibuku. Rupanya itu adalah paman yang suka meminjam uang kepada ibu. Bukan bermaksud pelit, tetapi keadaan kami saja sudah susah ditambah paman yang suka merepotkan. Ibu tidak pernah ragu untuk memberikan pinjaman berupa uang kepada paman, meskipun ibu tahu uang itu tidak akan pernah diganti.

Keluarga paman juga ikut susah setelah ayahku tiada, karena dahulu keluarga paman dibiayai oleh ayah. Tetapi sekarang bukannya bekerja, paman malah lebih suka meminjam uang kepada ibu.

Satu-satunya barang berharga yang kami punya adalah rumah peninggalan ayah. Paman beberapa kali mencoba menggadaikan rumah kami, tetapi pada akhirnya selalu gagal.

Meskipun kami memiliki rumah, namun hidup kami tetap sulit. Banyak kebutuhan yang harus dipenuhi, belum lagi biaya sekolah aku dan adik, serta pengeluaran yang tidak terduga.

Seperti 1 tahun silam, ibu terjatuh di kamar mandi ketika hendak membersihkannya. Hal itulah yang membuat siku tangan sebelah kanan ibu sempat patah dan memakai gips. Aku sangat sedih, karena tidak tahu harus berbuat apa, uang pengobatannya pun tidak cukup, serta tidak tahu harus kemana untuk meminjam uang. Pada akhirnya kami diusir dari rumah sakit dan ibu dirawat seadanya di rumah dengan gips buatan adikku yang cukup kokoh untuk dijadikan sebagai penopang tangan ibu.

Karya Puisi 1ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang