BAB XXXVII "Duh Herdaya "

223 39 9
                                    

Selamat Malam semu pembacaa

 udah pada tidur belum yah? JAMANIKA UPDATE NIH! YUHUUU....

Siapa yang kepo komen disini? ayok!

JANGAN PELIT VOTE DAN KOMEN YAH!

Selamat menbaca semua.......


****************

Sebelum Ranu kumbolo.

Mada memberhentikan sejenak kudanya. Tampak jauh perawakan gagah Gunung Semeru dibawah sini—sedikit lagi ia sampai. Tali kekangan kuda dipacu cepat setelah beristirahat sebentar. Persawahan hijau, ladang petani terlewati. Jalan semakin menanjak memaksa kuda terus berlari.

"Empun dugi, Gusti (Sudah sampai, Gusti). Niki Torana marang Arga semeru (Ini Pintu Gerbang menuju Gunung Semeru)!" ucap Wukir turun dari kuda. Menunduk memberi hormat.

"Maturnuwun, pitulungane Wukir (Terimakasih, bantuanmu Wukir)," jawab Mada menunduk memberi hormat diikuti Anila.

Wukir terkejut sikap Mada, tubuhnya seketika merunduk ke tanah menyatukan kedua telapak tangan kemudian bersujud. "Tidak sepantasnya hamba mendapatkannya, Gusti. Hamba hanyalah seorang abdi rendahan."

Mata Mada melebar lalu berjongkok satu lutut menyentuh tanah dan menyentuh pundak Wukir. "Angkat kepalamu! Saya juga tak sepantasnya mendapat sujudmu. Berikan itu pada Rajamu, Raja kita bersama. Raja Majapahit, Gusti Rajasanegara."

Wukir mengangkat kepala dan mengganguk.

"Saya berterimakasih banyak atas jasamu mengantar kami. Semoga Jagadewa Batara menjagamu tiba di Janggala."

"Nggih, Gusti. Maturnuwun. Kulo pamit riyin, Gusti (Baik, Tuan. Terimakasih. Saya ijin pergi dulu, Tuan)!" Wukir pergi menunggangi kuda giras.

Perjalanan baru dimulai. Mada dan Anila berdiri menatap hutan lebat nan hijau. Kesan suram mengelitik bulu kuduk Anila. Tangannya mengerat pada tubuh kuda. Ranting kering membaur bersama rontokan daun kecoklatan berserakan di tanah. Kabut mengantung tebal menutup jalan. Awan gelap bergerak menutup celah-celah langit benderang terang.

"Ojo wedi kulo teng mriki (Jangan takut saya disini)!" bisik Mada melajukan kudanya perlahan. Tubuh mereka perlahan menghilang dalam kabut.

Ucapan Mada bagai mantra menghilangkan rasa takut Anila. Hatinya tenang, ia mendapatkan pelidung siap siaga menjaga dari hal apapun didepan sana. Sebuah rintangan, teka-teki dan jawaban untuk dilalui dengan pemecahan diluar akal.

Pohon didominasi cemara gendut juga gering menjulang tinggi mencakar langit. Jalan rimbun rumput liar. Jalan ini belum terjamah manusia. Dipertengahan jalan batang pohon cemara besar tumbang menghalangi satu-satunya jalan naik ditambah runtuhan tanah diatasnya. Hujan kemarin lalu tampak penyebabnya. Disamping kiri mengarah langsung ke jurang tak berdasar tertutup warna hijau daun.

Mada memilih turun menarik kudanya melewati batang pohon. Anila tetap diatas. Jalan semakin semakin sempit dan curam. Mada sabar menuntun kudanya perlahan sampai ke daratan lebih datar.

"Bagaimana kalau kita beristirahat dulu?" tanya Anila tiba-tiba. Khawatir.

Wajah Mada tampak begitu lelah. Sepajang jalan tak pernah tidur. Setiap kali Anila terjaga maupun terlelap tidur Mada tetap terjaga. Kapan Mada tidur? Dalam hati Anila bertanya.

Dua kali berhenti untuk istirahat membangun api unggun. Mada melewati Watu Rejeng dari Ranu Pani mendapati dua jembatan salah satunya jembatan janik dibawahnya dialiri air jernih dari peguungan lanjut terus menuju Danau Ranu Kumbolo. Mata tajam itu terus terjaga mendekap pedang setia ditangannya. Sejak kejadian di Rumah Langgar Mada tidak pernah jauh dari benda itu. Anila melihat raut sedih jauh didalam sana. Sesuatu yang Mada coba sembunyikan.

JAMANIKAOù les histoires vivent. Découvrez maintenant