BAB XLIII "Sewiyah-Wiyah"

235 33 3
                                    


Selamat siang pembacaku?

Semoga kabar selalu menyertai kalian semua.

Ini mungkin yang akan sering kali saya ucapin "Maaaf semua pembacaku saya baru up."

Tentu alasannya karena ada kesibukan di zaman modern dimana tempat asal Anila tinggal. Dan riset tentang cerita ini dari buka kamus bahasa sansekerta dll.

KET:  Tempat di Gunung Semeru dalam cerita ini nyata ada sebagian dramatisasi cerita. Pasti kalian yang suka naik gunung pasti tau. Tapi untuk suasana, kejadian dan spesifik keadaan tambahan fresh from my brain yah hehe.... 

Dan adegan fighting Saya bela-belain nonton beladiri pedang untuk menuliskannya dalam cerita ini. Maaf kalau masih susah juga untuk dibaca namanya juga belajar ya kan.

JADI INTI JANGAN PELIT VOTE DAN KOMEN YAH!

INFOIN KE SAYA KALAU ADA YANG PLAGIAT CERITA INI!

SELAMAT MEMBACAAA..............

Saya sayang kalian pembaca setia dan berakhlak.

**********************************


Air mata Anila menetes dibawa Anderpati masuk jauh ke dalam hutan. Suara gemuruh hetakan telapak kuda menarik perhatian Anila untuk menoleh seketika matanya membulat.

"Kae! (Itu dia!)" teriak Prajurit Sadeng salah satu pemimpin dibarisan depan.

"Ini bukan waktunya, An." Menghapus kasar air matanya langsung menghetakkan tali kekangan Kuda. Anderpati dipacu lebih cepat.

Anila nampak lihai menghindari berbagai pohon didepannya laksana halang rintang. Merunduk, berbelok, melompati pohon lapuk tumbang. Ia tidak kalah dengan pasukan Bhayangkara dalam medan perang. Padahal tidak memiliki keahlian berkuda sebelumnya. Semua dilakukan berdasarkan insting semata serta mengingat bagaimana saat Mada melakukannya pasalnya pertamakali dirinya berkuda.

"Ayo kawan, dhewek kudu mlayu luwih cepet! (kita harus lari lebih cepat!)" ucap Anila pada Anderpati. Bahasa Anila mulai campursari. Tetesan air hujan semakin lebat menerpa wajahnya.

IHIIIIHKHIIII.....

Seru Anderpati menambah kecepatan.

Kurang perhitungannya Anila memilih jalan kini harus mengambil konsekuensi jalan turun terjal. Seharusnya tidak untuk kuda kecuali mereka yang memiliki keahlian tinggi.

Tibalah Anila di Jembatan Janik langsung menarik kekangan tali. Sontak Anderpati berhenti menggerem dengan dua kaki depannya.

"Apa yang harus ku lakukan?" Monolog Anila menelan ludah. Tangan gemetar menggengam kekangan tali melihat jembatan dari pohon tumbang itu patah terbawa arus. Hujan bertambah lebat menambah deras alir sungai jernih itu sekarang berubah keruh.

Anila menoleh seiring jantung berdengub jantung kencang. Suara riuh prajurit pengejar semakin jelas itu menandakan semakin dekat jarak dengan mereka. Memaksa otaknya berpikir cepat keputusan terbaik untuk diambil.

"Wis ora ana dalan maning (Sudah tidak ada jalan lagi) Neng Ayu Hahahaha!" seru prajurit Sadeng dari kejauhan. Dengan sengaja memperlambat langkah menurun tanjakan untuk menambah ketakutan Anila.

"Baiklah." Anila memantapkan diri memutar tali kekangan, mundur, mengambil ancang-ancang. "HIYAK!" Menghentakkan tali. Kuda Anderpati berlari cepat dan semakin cepat. Layaknya elang terbang melompati sungai.

JAMANIKAOù les histoires vivent. Découvrez maintenant