01-The Day They Met

8.3K 529 70
                                    

Bunyi shuttlecock yang bertumbuk dengan raket menggema dalam ruangan. Decitan sepatu sesekali terdengar ketika sang empu berusaha mengimbangi arah datangnya shuttlecock yang diberikan lawan. Teriakan penuh semangat terdengar saat masing-masing berhasil memperoleh skor. Meski dalam ruangan itu hanya ada tiga orang---dua pemain dan satu wasit---tetapi mereka dapat merasakan atmosfer pertandingan yang seru.

"Yes!!!" Teriakan Ghava terudara begitu shuttlecock yang menerima smash dari raketnya berhasil membuahkan poin untuk kemenangannya. Ia berlari menghampiri lawan yang tak lain adalah ayahnya sendiri. "Ghava menang beneran, 'kan? Wle." Remaja itu menjulurkan lidah, mengejek sang ayah yang memasang muka masam.

"Enggak, enggak, tadi out. Poin buat Ayah."

Mendengar itu, Ghava seketika membulatkan mata. Ia tidak terima. "Out dari mananya? Ini masuk, Yah."

"Out out, ayo kita lanjut lagi. Sekarang penentuan."

"Ih, mana ada!"

"Udah, kamu percaya aja sama Ayah."

"Males, orang aku menang. Tanya Om Jev aja biar adil!"

"Enggak, enggak---"

"Om Jev wasitnya, Ayah!"

Satya menghela napas. Pada akhirnya ia mengalah dan turut melemparkan tatapan mengintimidasi pada Jev---sekretaris sekaligus adik sepupunya itu. "Out, 'kan?"

Jev merasa seperti dikuliti habis-habisan oleh sepasang ayah anak yang berdiri di hadapannya. Dilihat dari mana pun, mereka sangatlah mirip. Tatapannya yang bisa setajam belati ataupun selembut kapas, garis wajah tegas nan tampan, juga gestur songong yang akan mereka tunjukkan jika tak ingin kalah seperti saat ini.

"Kalau Om punya mata, harusnya Om lihat kalau tadi itu jelas-jelas masuk," ucap Ghava tanpa berniat menyaring kata-katanya.

"Iya, tadi masuk. Ghava menang," putus Jev pada akhirnya. Ia sontak melindungi kepala ketika Satya mengangkat tangan seperti akan memukulnya. Namun, ia tahu jika itu hanyalah pura-pura. Terbukti dengan Satya yang akhirnya memilih berjalan menuju tepi lapangan dan mendudukan tubuh di kursi panjang yang tersedia di sana.

Sementara Ghava tampak begitu bahagia dan langsung berlari menghampiri ayahnya. Ia menerima uluran handuk dari Satya dan mengelap wajahnya yang dipenuhi keringat. Kemudian Ghava meraih sebotol air mineral, meneguknya hingga tersisa setengah.

"Udah siap dengerin permintaan Ghava, Yah?" tanya Ghava, menatap sang ayah yang sibuk membersihkan keringat di leher dan wajahnya. "Dih, pura-pura enggak inget pasti." Ghava mencebik, paham sekali dengan tabiat sang ayah. Sebelum bermain tadi, mereka memang sempat membuat perjanjian kalau yang kalah harus menuruti kemauan si pemenang.

"Siapa bilang? Ayah inget, kok. Emang kamu mau apa?"

"Motor, Gav." Ucapan itu tercetus begitu saja dari bibir Jev. Pria berumur 27 tahun itu berusaha mengompori Ghava yang tampak menimang-nimang keinginannya. Namun, ia kembali bungkam ketika mendapat lirikan tajam dari Satya.

"Enggak ada motor motor!"

"Tapi Ghava emang mau itu, Yah. Beliin Ghava motor, ya?" Ghava menatap sang ayah dengan mata berbinar-binar penuh permohonan. Ia sudah lama mendambakan memiliki motor dan berangkat sekolah seorang diri. Namun, hal itu tak pernah terwujud karena orang tuanya selalu melarang.

"Enggak ada, Ghava."

"Please, Yah. Ya ya?"

"Enggak mau, Ayah enggak mau dirujak sama ibu kamu. Masih pengin hidup tentram. Lagian kamu masih 16, belum bisa bikin SIM." Satya sebenarnya tak pernah keberatan jika Ghava memang ingin memiliki kendaraan pribadi. Namun, masalahnya adalah sang istri yang belum mengizinkan dan mungkin tak akan pernah mengizinkan hal itu terjadi.

Se(lara)s✔️Where stories live. Discover now