29-Sembilu

2.1K 329 90
                                    

"Aduh Den, nggak usah repot-repot bantuin Bibi. Mending Aden duduk aja di ruang makan, ya? Atau siap-siap buat ke sekolah, udah siang ini." Bi Ais tak henti berbicara ketika Zay sedari tadi membantunya menyiapkan sarapan. Ia merasa tidak enak karena membuat Zay melakukan ini-itu di pertemuan pertama mereka.

"Zay nggak sekolah kok, Bi. Sama tolong jangan panggil Aden, Zay nggak suka. Panggil Zayyan aja."

"Iya, tapi udah ya biar Bibi aja yang kerja. Aden jangan di sini ya, nanti Ibu marah ke saya."

"Tuh kan, Aden lagi."

"Ya udah, Bibi panggil Mas Zayyan aja ya? Sungkan Bibi kalau cuma panggil nama."

"Ya Allah, Bi, nggak perlu sungkan padahal. Ya udah deh, Mas lebih baik daripada Aden." Zay akhirnya menaruh pisau yang sedari tadi ia gunakan untuk memotong buah yang akan dibuat jus oleh Bi Ais. Ia kemudian membawa mangkuk berisi sup ayam yang telah siap dihidangkan, membuat Bi Ais lagi-lagi teraduh-aduh sebab tingkahnya.

Tak lama setelah Zay duduk diam di ruang makan, Satya datang bersama Ghava yang mengekor di belakangnya. Saudaranya itu sudah rapi mengenakan seragam sekolah, sementara sang ayah masih memakai piyama dengan muka khas bangun tidur yang membuatnya tidak tampak seperti CEO sebuah perusahaan besar. Tapi meski dalam kondisi seperti itu pun, Satya tetap terlihat tampan.

"Lo nggak sekolah, Zay?" tanya Ghava begitu duduk di samping Zay.

"Nanti mau ke rumah sakit buat mastiin besok bisa mulai kemo atau enggak," jawab Zay seraya meraih piring untuknya dan untuk Ghava. "Tenang aja, saya temenin kamu sarapan kok. Ayah juga mau sarapan sekarang, 'kan?" tanya Zay seraya menatap Satya yang baru datang dari dapur membawa segelas air minum.

"Iya, Ayah temenin juga." Satya kemudian duduk di kursi yang berada di depan anak-anaknya. Pria itu tampak sibuk dengan ponsel, mungkin sedang mengatur pekerjaannya sebab hari ini harus menemani Zay ke rumah sakit.

"Ibu mana? Tumben banget belum kelihatan," ucap Ghava sembari celingak-celinguk mencari keberadaan ibunya.

"Ibu hari ini ke Bali, mau ngisi seminar di Universitas Udayana sama ada pertemuan sama dosen katanya. Emang kamu belum tau?"

Ghava menggeleng untuk menjawab pertanyaan Satya. "Kok nggak bilang, sih? Padahal Ibu belum ketemu Zay, loh," gerutunya dengan nada yang menyiratkan kekesalan.

"Udah ketemu kok tadi."

Perkataan Zay sontak mengambil perhatian Ghava dan Satya.

"Kapan? Kok gue nggak lihat?"

"Mana bisa lihat orang kamu aja masih molor. Dibangunin buat sholat juga malah kek disuruh kerja rodi, mager betul."

Satya tak bisa menahan tawa mendengar perkataan Zay. Ia sebenarnya juga tidak tahu jika Zay sudah bertemu dengan Tari. Sebab terakhir kali Satya mengobrol dengan Tari untuk menemui Zay, istrinya selalu berucap nanti.

"Gimana tadi ketemu sama Ibu? Sempet ngobrol-ngobrol nggak?"

"Enggak banyak, Yah, soalnya Ibu lagi buru-buru. Tapi Zay seneng kok. Ibu baik ... dan cantik. Nggak heran anaknya ganteng-ganteng gini."

"Jijik, Zay."

"Ya udah, cuma saya yang ganteng," ucap Zay dengan percaya diri. "Oh, sama Ghazy juga."

"Serah lo, deh." Ghava pasrah saja. Ia akhirnya mulai mengisi piringnya dengan makanan, sebelum semakin mengulur waktu untuk meladeni Zay dan berakhir terlambat ke sekolah.

Sementara Satya dapat sedikit lega saat Zay menceritakan penilaiannya terhadap Tari. Ia pikir Tari akan bersikap dingin pada Zay, untunglah hal itu tidak terjadi. "Zay juga makan yang banyak, vitamin sama obatnya jangan lupa. Habis itu siap-siap ke rumah sakit."

Se(lara)s✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang