09-Hanya Tampak Indah

2.1K 304 30
                                    

“Ibu lihat kardus di kamar Ghava yang isinya soal-soal olim nggak?” tanya Ghava seraya memandang ibunya yang sedang sibuk dengan laptop di meja kerja. Lelaki itu mulai menyusuri rak berisi buku-buku di ruang kerja Tari untuk mencari barangnya yang mungkin berada di sana.

“Nggak mungkin di sini, Gav. Kamu lupa naruh pasti,” jawab Tari tanpa mengalihkan pandang dari layar laptop, “atau tanya Ayah.”

“Ayah juga nggak tau katanya.” Ghava melupakan niatan awal. Lelaki itu justru asik memilah koleksi buku milik ibunya yang menarik untuk dibaca. Kebanyakan merupakan buku dengan tema ekonomi karena ibunya memang mengajar mata kuliah di Fakultas Ekonomi dan Bisnis. Sisanya buku bacaan ringan yang sering Ghava curi untuk ia baca di waktu senggang.

“Beli baru aja, nanti uangnya Ibu kasih.” Tari kini mengalihkan fokus pada Ghava yang masih sibuk menjelajahi rak buku miliknya. Binar mata wanita itu tampak meredup ketika menatap punggung Ghava. Biasanya, akan ada dua anak yang merusuhinya di ruang kerja, saling berebut buku, berlomba-lomba merayunya agar mendapatkan izin untuk meminjam. Melihat ketenangan yang tersaji di depan mata bagaikan mencubit hati wanita itu. Semua sudah tak lagi sama.

Bahkan Tari lupa kapan terakhir kali menghabiskan waktu hanya berdua dengan Ghava. Sudah lama ia tak mengacuhkan anak itu, dan mungkin Ghava juga merasakan jarak yang terbentang di antara mereka sejak dua tahun terakhir.

Tiada cerita hangat yang saling mereka bagikan. Pun Tari amat menyadari jika ia hanya akan bicara untuk melarang Ghava tentang banyak hal, membatasi apa pun yang sebenarnya Ghava inginkan, meski tahu betul jika hal itu mungkin telah menyakiti hati putranya. Namun, Tari melakukan itu juga bukan tanpa alasan. Ia mengharapkan yang terbaik untuk Ghava, dan ia yakin jika perbuatannya tidaklah salah.

“Mau beli bukunya sama Ibu?”

“Hm?” Ghava seketika memutar tubuh, memandang ibunya dengan tatapan tak percaya. Namun sedetik kemudian, ia tersadar dan langsung menerima tawaran Tari tanpa perlu banyak berpikir. “Ayo, Ghava siap-siap dulu kalau gitu.” Ia melempar senyum sebelum bergegas keluar dari ruang kerja ibunya untuk bersiap-siap. Tentu saja Ghava tak ingin melewatkan kesempatan langka ini.

***

Jalanan tak begitu ramai di hari Minggu siang. Sejak keluar dari rumah hanya bersama ibunya, membeli beberapa buku, bahkan makan siang bersama, Ghava jadi banyak tersenyum. Hatinya begitu senang meski Tari masih saja minim bicara, membuatnya harus terus-terusan mencari topik pembicaraan agar tak terbunuh canggung. Ghava rela, sekalipun jika ia harus membicarakan obrolan random tentang asal-usul alam semesta.

“Kamu tau Cake It nggak, Gav? Ibu pengin beli kue di sana, tapi nggak tau tempatnya. Kemarin rekan kerja Ibu bawa kue kukus enak banget, katanya beli di situ. Ibu jadi pengin beli juga,” ucap Tari selagi fokus menyetir.

“Ghava nggak tau juga, Bu. Coba Ghava search di G-maps.” Ghava mengetikkan lokasi yang ibunya sampaikan di kolom pencarian google maps. “Deket, Bu, dari sini. Tinggal lurus sekitar 1 km, terus belok kanan. Ayo mampir sekalian.”

“Oke.” Tari melajukan mobilnya mengikuti arahan Ghava yang membaca rute di layar ponsel.

Beberapa menit kemudian, mereka sampai di tempat tujuan. Tari cukup terkejut melihat antrean yang cukup panjang di dalam toko kue tersebut. “Rame banget, Gav, nggak jadi aja deh.”

“Udah sampai ini, Bu, tanggung. Biar Ghava aja yang antre bayarnya, tapi Ibu pilih dulu mau kue yang mana. Ayo.”

“Ibu aja yang masuk. Kamu tunggu di sini atau tunggu di luar aja kalau mau ikut turun.” Tari lekas keluar dan meninggalkan Ghava. Ia paham betul jika Ghava tak terlalu nyaman berada dalam keramaian. Wanita itu tak ingin Ghava nekat masuk hanya untuk memenuhi keinginannya.

Se(lara)s✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang