37-Sulit Percaya

1.7K 278 129
                                    

Setelah tiga hari dokter memberikan antibiotik, kondisi paru-paru Zay mulai membaik. Ia sudah dipindahkan ke ruang rawat biasa, tetapi masih harus diberikan antibiotik sampai dua minggu ke depan untuk memusnahkan bakteri secara total. Sehari setelah keluar dari ruang isolasi, Zay enggan menemui siapa pun. Ia hanya mengizinkan dokter atau perawat untuk masuk dan menolak kehadiran yang lain.

Zay sedang berusaha mencari ketenangan, yang sayangnya tak pernah ia dapatkan. Setiap kali membuka mata, seolah ada hal besar dalam pikirannya yang membuat ia enggan menjalani hari. Ia takut bertemu dengan orang-orang sebab tak ingin mereka bertengkar, yang lagi-lagi pasti karena dirinya. Ia memilih untuk mengurung diri, diam seharian, sebab Zay juga tak tahu sebenarnya hal semacam apa yang saat ini ia butuhkan.

Sampai akhirnya, sore ini Zay memanggil Gatra untuk datang. Ia sudah buntu untuk mencari ujung dari peliknya isi kepala. Dan untuk saat ini, hanya Gatra yang dapat ia percaya.

"Gimana kondisi kamu? Masih kerasa berat nggak napasnya?" tanya Gatra yang duduk di kursi sebelah ranjang. Ia menatap Zay dengan sebuah senyum miris. Tak ia temukan sedikit pun binar cerah dalam wajah itu. Masih tampak pucat, lingkar hitam di bawah matanya semakin jelas, pipinya pun kian menirus, entah sudah berapa banyak Zay kehilangan bobot tubuhnya sejak sakit.

Biasanya, Gatra masih dapat menemukan senyum di balik pucatnya wajah Zay. Namun, kini lengkung bibir itu seolah lenyap dan hanya menyisakan kesenduan.

"Om, Zay boleh minta tolong cariin tempat tinggal di sini nggak?" tanya Zay dengan suaranya yang masih terdengar lemah.

Sementara Gatra langsung diam dengan hati yang serasa tercubit. Tak ia sangka jika itu adalah kalimat pertama yang Zay katakan. Sepertinya anak itu belum selesai dengan sakit hatinya akibat perlakuan Tari. Dan Gatra rasa, kali ini hal itu tak akan selesai. Zay tampak sangat kecewa, bahkan nyaris memilih untuk menyerah pada hidupnya.

"Kenapa di sini? Di Jakarta aja, ya? Di sini nggak ada yang bisa jaga Zay. Kalau Zay nggak mau tinggal sama orang tua Zay, tinggal sama Om. Om udah pernah bilang kan, rumah Om bakal selalu terbuka buat kamu."

Zay menggeleng. "Zay udah banyak ngerepotin Om Gatra sama Tante Luvita. Zay tinggal sendiri aja di sini, Om. Atau ... atau Zay tinggal di rumah sakit aja kali ya? Tapi di sini aja Om, jangan di Jakarta."

Gatra meraih tangan Zay untuk ia genggam, tatapannya tertuju pada sepasang mata tanpa binar itu. "Kamu mau pergi sejauh apa dari ibu kamu, hm? Kalau itu yang kamu pengin, Om akan bawa kamu pergi yang jauh. Asal bukan pergi sendiri, asal bukan pergi jauh ke tempat ayah dan bunda kamu. Jangan lakuin hal kayak gitu lagi, Zay. Kamu masih punya Om, Om bisa bantu kamu."

Zay merasa sangat bersalah ketika mengingat perbuatan nekatnya tempo hari. Melihat wajah Gatra dan segala ketulusan yang pria itu beri, Zay benar-benar merasa malu. "Maafin Zay, Om."

"Sekarang Om tanya, kamu yakin pengin pergi jauh dari keluarga kamu? Om minta kamu ambil keputusan ini dengan baik, jangan gegabah."

Kali ini, Zay mengangguk tanpa keraguan. Ia sudah memutuskan untuk pergi dari mereka. Ia ingin mengembalikan semua kebahagiaan dalam rumah itu yang terenggut karena kedatangannya.

"Bawa Zay pergi ke mana pun asal bukan di deketnya Ibu. Zay pengin hilang dari pandangan Ibu karena itu yang Ibu pengin."

Gatra menghela napas berat. Ia diam beberapa saat, lantas mengangkat jari kelingkingnya di hadapan Zay. "Tapi kamu harus janji satu hal sama Om."

"Apa?"

"Kamu harus sembuh. Kamu harus semangat buat sembuh. Kamu harus sayang sama diri kamu sendiri, kamu nggak boleh ngelakuin hal-hal nekat kayak kemarin lagi. Janji?"

Se(lara)s✔️Where stories live. Discover now