17-Peringatan Keras

2.2K 325 52
                                    

Hari sudah berganti malam ketika mobil yang dikendarai Pak Riza sampai di halaman rumah besar majikannya. Di sampingnya, Ghava tampak tertidur tenang. Anak itu akhirnya menurut untuk pulang setelah melihat kondisi Zay sudah lebih stabil. Pun, sebenarnya keadaan Ghava juga tak sepenuhnya baik. Kurang istirahat dan psikis yang terguncang berimbas pada fisiknya.

Beberapa waktu lalu, Jev menawarkan pada Ghava untuk menemui dokter, karena anak itu mengeluh pusing dan suhu tubuhnya meningkat. Akan tetapi, Ghava lebih memilih untuk pulang saja, daripada mendatangi dokter dan mendapat perawatan di rumah sakit. Ia tak ingin membuat orang tuanya khawatir. Kepulangannya pasti sudah ditunggu dan Ghava tak ingin terpenjara di bangunan putih itu.

"Den, udah sampai." Pak Riza membangunkan Ghava dengan hati-hati. Ia kembali memundurkan tubuh usai mendapati pergerakan Ghava.

Ghava mengerjap, memandang luar dan menyadari jika ia sudah sampai di rumah. Lelaki itu meringis kecil, memijit kening yang masih terasa pusing. Ia tak menyangka jika efek begadang dan hanya tidur dua jam akan berdampak seperti ini. Dua malam terakhir, ia benar-benar tak bisa tidur tenang. Ia juga tak sempat mengisi perut dengan makanan berat sejak pagi. Bukan apa, tetapi Ghava sama sekali tak punya selera sejak melihat kejadian berdarah yang Zay alami.

"Aden nggak apa-apa? Perlu saya bantu buat ke dalam?" tawar Pak Riza kala menyadari kondisi Ghava tak cukup baik.

"Nggak apa, Pak. Cuma pusing dikit." Ghava kemudian membuka pintu mobil dan keluar untuk menuju rumah. Namun sial, ketika baru saja berdiri, Ghava merasa pandangannya menggelap hingga ia refleks berpegang pada pintu mobil yang belum ia tutup kembali. Lelaki itu mengerjap dan menggeleng kecil untuk mengembalikan fokus pandangannya.

"Aden beneran nggak apa-apa? Ayo saya bantu aja." Pak Riza sudah hampir keluar untuk membantu Ghava, tetapi anak itu lagi-lagi menolak.

"Pak Riza taruh mobil aja ke garasi, saya bisa sendiri." Ghava menutup pintu mobil, kemudian berjalan pelan menuju pintu utama rumahnya.

"Ghava pulang." Ghava berjalan menuju ruang tengah ketika suasana tampak sepi. Ia tak yakin, apakah orang tuanya  sudah pulang dari kantor pada jam ini. Ia belum menghubungi mereka lagi sebab ponselnya mati.

Ghava menghentikan langkah tak jauh dari tangga. Ia menumpukan kedua tangan pada lutut sebab kepalanya terasa semakin pusing. Ia seperti tak sanggup lagi untuk berjalan, apalagi menjamah kamarnya di lantai dua.

Lantai yang ia pijaki terlihat berbayang di mata Ghava. Perutnya terasa mual sampai ke dada dan membuat bagian itu terasa seperti ditekan. Ghava sama sekali tak punya tenaga untuk bergerak, dan mengistirahatkan tubuhnya yang sudah tidak karuan.

"Kok baru sampai, Gav? Mampir ke mana dulu sama Om Jev? Nggak bisa dihubungi juga kalian, termasuk Pak Riza."

Mendengar suara sang ayah, Ghava kembali mendirikan tubuh meski tak sepenuhnya tegak. Samar-samar ia bisa melihat figur sang ayah yang baru saja menuruni tangga, berjalan mendekatinya. Ghava mengulurkan satu tangannya pada Satya, bermaksud meminta bantuan karena tubuhnya terasa akan ambruk. Namun, tiada lagi yang dapat Ghava rasakan saat gelap lebih dulu menguasai pandang dan tubuhnya terasa begitu ringan.

Melihat tubuh Ghava limbung ke belakang, netra Satya seketika membola. "Ghava!" Satya bergerak cepat menangkap tubuh Ghava sebelum membentur lantai. Ia meluruh bersama tubuh lemas putranya dalam dekapan. Rasa cemas seketika merambat di hati pria itu, terlebih ketika menyadari suhu tubuh Ghava yang terasa panas. Keringat dingin telah membanjiri wajah Ghava yang pucat pasi.

"Ghava, hey! Ghava!" Satya mencoba mencari kesadaran putranya, tetapi tiada respons yang ia dapatkan. Segera, Satya membopong tubuh Ghava dan membawanya menuju kamar.

Se(lara)s✔️Where stories live. Discover now