Bergumpal-gumpal amarah dalam dada Ghava pada akhirnya meledak. Anak itu melempar gelas kaca di atas nakas, lantas berteriak marah sembari menjambak rambutnya sebab kepalanya semakin terasa berisik. Ia menangis hebat seolah hanya dengan itu rasa sakit di hatinya dapat terurai.
"Ghava! Jangan begini, Nak, nanti kepala kamu sakit." Satya berusaha melepas tangan Ghava yang terkepal kuat menjambak rambutnya. Setelah berhasil melepaskan, dapat ia lihat beberapa helai rambut yang tertinggal di sela-sela jari Ghava.
Kamu bodoh
Kamu emang nggak pantes buat bahagia
Keluarga kamu bakal lebih hancur lagi
Dosa kamu terlalu banyak
"Arghh ... DIEM!" Ghava mengusap kasar telinganya, berusaha mengenyahkan suara-suara mengerikan yang sudah lama tak ia dengar. Ghava mulai didekap oleh ketakutan.
Wajar ibu kamu nggak pengin kamu bahagia
Kamu udah ambil Ghazy dari dia
Dia nggak salah ambil semua yang kamu punya
Kamu yang salah
Semua yang kamu punya bakal hilang satu per satu
"Bukan ... BUKAN AKU! Jangan ambil ... tolong jangan ambil lagi." Ghava semakin menangis.
Satya memeluk Ghava dari belakang, menyandarkan tubuh anak itu pada dadanya selagi mengunci gerakan tangan Ghava. Infus di tangan anak itu bahkan sudah terlepas karena sedari tadi Ghava menggerakannya dengan brutal.
"Tari, panggil Dokter!" teriak Satya pada Tari yang hanya berdiri terpaku dengan air mata mengalir deras. Satya ingin melakukannya sendiri, tetapi Ghava masih terus berontak. Ia tak ingin anak itu menyakiti dirinya sendiri jika ia melepaskan dekapannya.
"Ibu jahat! Ibu ambil semua yang Ghava punya, Ibu nggak pengin Ghava seneng. Ibu jahat!"
Tari mendekati Ghava saat anak itu berucap seperti tadi. Ia menggeleng, berniat meluruskan semuanya agar Ghava tidak salah paham. Tangannya berusaha meraih wajah Ghava, tapi anak itu menghindar. Kembali histeris dan mencoba melepaskan diri dari penjagaan Satya.
"Sayang, Ibu ... Ibu nggak bermaksud begitu. Justru Ibu penginnya Ghava selalu bahagia. Ibu nggak bermaksud buat bikin Ghava sedih. Tolong jangan begini, Nak."
Bohong, ibu kamu bohong
Dia pengin kamu menderita
Dia pengin kamu mati
Kamu harus bayar kesalahan kamu
Melihat Tari yang tak bergerak cepat, Satya sedikit melepaskan pelukannya pada tubuh Ghava. Ia bergegas menekan tombol darurat yang terhubung dengan petugas medis. Namun karena kelengahannya, Ghava berhasil menghindar. Anak itu turun dari ranjang, tapi karena tak punya banyak tenaga, ia berakhir tersungkur di lantai yang tercecer pecahan beling.
"Ghava!" Tari berlari mendekat ke sisi ranjang sebelah kanan. Ia berniat membantu Ghava untuk bangkit, tetapi anak itu justru berteriak dan menodongkan pecahan gelas dengan ujung tajam padanya.
"JANGAN KE SINI!" Ghava susah payah mendudukkan tubuh. Serpihan beling telah menggores telapak tangannya, tetapi Ghava seolah tak merasakan apa pun. Anak itu benar-benar hilang kendali.
"Ibu pengin Ghava mati, 'kan?" lirih Ghava dengan tatapan putus asa. Ia telah menempelkan ujung tajam dari pecahan gelas itu di pergelangan tangannya yang bergetar hebat.
Bagus, Ibu kamu pasti seneng
Sedikit lagi Ghava
Setelah itu, semuanya berakhir
YOU ARE READING
Se(lara)s✔️
Teen Fiction[Brothership/Sicklit/Slice of Life] Ghava hampir melupakan masa-masa kelam ketika dirinya harus kehilangan orang yang paling ia sayang. Ia hampir sembuh dari kesakitan yang tiga tahun belakangan menyiksa batinnya tanpa ampun. Namun, hal itu hanya an...