03-Berteman?

3.4K 395 23
                                    

"Mas Iyan!"

Zay menoleh ketika mendengar suara yang amat dikenalnya. Tidak ada yang memanggilnya dengan sebutan itu kecuali Jio, sepupunya. Benar saja. Anak itu kini sudah ada di hadapan Zay dengan motor Vario-nya yang masih terbilang baru.

"Bonceng Jio aja, yuk!"

"Kamu duluan aja, Yo. Mas naik bus aja."

Jio berdecak kesal. Padahal ia sudah berbaik hati untuk menawarkan boncengan. "Ngapain naik bus? Sama Jio aja, lagian kita serumah."

Daripada berdebat dan menarik perhatian siswa-siswi yang berlalu-lalang, akhirnya Zay pun memutuskan untuk membonceng Jio. Butuh waktu kiranya dua puluh menit hingga keduanya sampai di rumah.

Melihat Yulis---tantenya---yang sedang di luar toko, Zay sudah menebak apa yang akan terjadi setelah ini. Zay pasrah ketika Yulis menarik tangannya dan menghempasnya dengan kasar usai mereka sampai di dalam rumah.

"Ngapain kamu barengan sama Jio? Saya kan udah bilang, pulang pergi jangan sama Jio! Naik aja angkutan umum! Kamu itu nggak bisa dibilangin ya jadi anak?!"

Zay menunduk ketika Yulis sudah mulai marah-marah. Di saat-saat seperti ini, Jio tak akan mau repot-repot membantunya untuk memberikan pengertian pada Yulis. Bahkan kini anak itu sudah melesat masuk ke dalam kamar.

"Masuk sana kamu, ganti baju, habis itu jaga toko!"

"Iya, Tante."

Zay bergegas mengganti pakaian dan keluar untuk menjaga toko seperti yang Yulis perintahkan. Sejak pindah ke Jakarta, Yulis memang membuka toko kue di samping rumah.

Rumah dua lantai yang mereka tinggali saat ini adalah peninggalan orang tua Zay. Sekarang rumah itu sudah berpindahtangan menjadi milik Zay, begitupun dengan segudang kekayaan yang orang tuanya punya.

Harusnya Zay hidup makmur karena memiliki banyak harta peninggalan orang tuanya. Akan tetapi, ia hanyalah seorang remaja yang tak bisa apa-apa ketika om dan tantenya mengendalikan semua yang ia punya. Bahkan Zay tak pernah tahu, berapa nominal uang dan harta yang sebenarnya ia punya.

Zay terima saja. Setidaknya ia bersyukur karena kepemilikan atas namanya bisa membuat Zay tak dibuang begitu saja oleh mereka. Lagipula, ia juga tak kuasa jika harus hidup sendiri dan menelantarkan om, tante, serta sepupunya yang sejak dulu memang hidup serba kekurangan.

"Totalnya 120.000, Bu." Zay menerima uang dari pembeli dan menyerahkan kembalian beserta nota belanja. "Terima kasih, silakan datang kembali."

Sejak bulan lalu, toko kue milik tantenya mulai ramai oleh pengunjung. Itu karena Zay rajin mempromosikannya di berbagai platform. Bahkan tantenya sudah mulai berani merekrut pegawai untuk bekerja di bagian dapur dan menambah stok jenis kue yang laris di pasaran.

Zay menoleh ketika mendengar bunyi bel yang menandakan ada pelanggan masuk. Ia mendapati seorang anak kecil berusia sekitar 10 tahun yang menghampirinya dengan wajah lesu dan pakaian lusuh.

"Ada apa, Dek? Mau beli kue?" tanya Zay dengan lembut.

Adik kecil itu menggeleng. Ia melambai pada Zay untuk memintanya mendekat. Zay kemudian beranjak dari tempat kasir dan menghampiri anak laki-laki tadi. Ia berlutut untuk menyejajarkan posisi dengan anak itu yang tak seberapa tinggi. Bahkan menurut Zay, anak itu tergolong pendek dari bocah seumurannya. Belum lagi dengan tubuh kurus kerontang yang mengundang rasa iba.

"Kenapa?"

"Sini," bisik anak itu, membuat Zay lekas mendekatkan telinganya. "Adik aku ulang tahun, tapi aku enggak ada uang banyak. Boleh nggak kalau aku minta rotinya buat adik? Sedikit aja, kok. Sepotong juga enggak apa-apa. Ini aku punya uang segini."

Se(lara)s✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang