16-Drop Condition

3K 337 53
                                    

"Mau lihat punya gue aja?" tawar Ghava ketika melihat Zay sedang sibuk mengerjakan soal hukuman malam tadi. Bahkan hingga dua puluh menit sebelum deadline yang Pak Tito berikan, Zay masih memiliki 15 soal yang belum terjawab. Sementara Ghava, ia sudah menyelesaikan seluruhnya karena begadang hingga jam setengah dua pagi.

Sebenarnya, Ghava bukan tipikal orang yang akan memberikan jawaban secara cuma-cuma. Namun, melihat Zay yang tampak kurang sehat, lelaki itu berniat membantu. Sepertinya, Zay kembali terserang demam. Ghava rasa, imun tubuh lelaki itu memang tak sekuat teman-teman yang lain. Entah sudah berapa kali Ghava mendapati Zay dalam kondisi tak baik seperti ini.

"Nggak usah, Va. Keenakan saya ntar. Kamu juga ngerjainnya sampai begadang."

"Udahlah, ini cuma soal hukuman, nggak apa-apa kalo lo mau nyalin punya gue. Nggak usah maksain diri, tubuh lo udah nggak karuan gitu."

Zay menghentikan gerak tangannya yang tengah menulis, lantas menoleh pada Ghava yang berdiri di sampingnya. "Kamu juga harusnya jangan suka maksain diri kayak semalem. Sampai gelisah gitu tidurnya, kayaknya kamu kecapekan."

Ghava terdiam. Sepertinya malam tadi ia tanpa sadar telah menganggu tidur Zay. Kebiasaan buruk yang tak bisa ia kontrol itu kadang membuat Ghava kesal. Setiap kali memaksa tubuh dan pikirannya bekerja lebih keras, pasti ia akan memimpikan hal-hal buruk yang membuatnya gelisah dalam tidur. Untungnya malam tadi ia bisa mengatasi hal itu seorang diri. Meski setelahnya, Ghava tak berani untuk kembali tidur dan terjaga hingga pagi.

"Lo keganggu?"

Zay sontak menggeleng. "Saya nggak tega aja lihatnya. Udah deh, saya kumpulin ke Pak Tito seselesainya aja ntar."

Esoknya, para calon peserta olimpiade telah menyelesaikan pelatihan mereka. Pagi ini, mereka berkemas untuk kembali ke Jakarta. Wajah mereka tampak menunjukkan ekspresi yang berbeda-beda. Ada yang sumringah karena akhirnya bisa sedikit bebas, ada yang menyayangkan karena belum puas, dan sisanya tampak bersikap biasa saja.

Satu per satu siswa mulai meletakkan barang mereka di bagasi bus. Setelahnya, mereka mulai memilih tempat duduk. Beberapa anak tampak berdebat untuk memperebutkan tempat yang nyaman.

Zay pikir, kondisi tubuhnya akan lebih baik. Namun, justru ia merasakan sakit yang lebih menyiksa dari biasanya. Setiap persendiannya terasa ngilu hingga Zay enggan bergerak dari posisinya yang duduk di pinggir jendela. Ia menolak siapa pun yang ingin bertukar tempat, karena sungguh Zay tak punya tenaga untuk sekadar berdebat dengan mereka. Bahkan Zay tak peduli entah siapa yang akan menjadi partner duduknya. Ia hanya ingin tidur untuk meredam sakit.

Zay menyandarkan kepala pada kaca jendela, sebab terasa begitu berat hingga ia bahkan enggan membuka mata. Sepanjang perjalanan, ia hanya diam bersama rasa sakit yang mati-matian ia tahan. Zay enggan merepotkan orang dengan banyak mengeluh. Alhasil, ia mencoba mengatasinya seorang diri, meski yang ia lakukan hanya berusaha menanamkan sugesti positif dan meringkuk dalam hening.

"Zay?" Ghava yang memang duduk di kursi sebelah Zay mulai khawatir melihat kondisi lelaki itu. Sejak bus melaju hingga mereka hendak sampai, Zay sama sekali tak mengucapkan satu kata pun. Bahkan lelaki itu hanya tidur dengan wajah pucat dan keringat dingin yang membasahi kening hingga pelipisnya.

"Zay? Lo oke?" Ghava menepuk pundak Zay, selagi mencondongkan tubuh untuk menatap Zay yang sedikit membelakanginya. Ia takut jika Zay sedang menahan sakit yang teramat, atau lebih parahnya justru lelaki itu sedang tidak sadarkan diri.

Pergerakan kecil Zay membuat Ghava sedikit bernapas lega. Ia melihat Zay mulai membuka mata dan memandangnya dengan tatapan sayu. Bibirnya yang kering tampak menggumamkan sesuatu.

Se(lara)s✔️Where stories live. Discover now