BAB. 16

56.2K 4.4K 12
                                    

"Aku pikir siapa ternyata si anak haram."

Arelia spontan membalikkan badan, terbelalak kaget begitu netranya melihat seorang gadis dengan long dress berwarna kuning yang tengah bersedekap dada di depan bilik toilet. Tadi dia memang izin sebentar untuk pergi ke kamar mandi karena panggilan alam yang tak bisa kunjung ditolak.

Tapi di antara sekian banyaknya orang di hotel ini kenapa Arelia harus bertemu dengannya?

Gadis itu tersenyum sinis saat menangkap betapa kagetnya Arelia. Dia Lalu berjalan mendekat sembari meneliti penampilan Arelia, meraih sejumput rambutnya dan berdecih jijik. "Kau pikir bahkan jika kau berdandan seperti ini kau akan berubah menjadi seorang putri? Seorang sampah akan tetap menjadi sampah, bahkan jika kau mendaur ulangnya hal itu tidak mengubah fakta bahwa kau hanyalah sampah rendahan. Kau sama sekali tidak berharga."

Arelia sebisa mungkin tidak memasukkan perkataan tajam Mahina ke dalam otaknya. Iya, dia Mahina. Putri pertama Ayahnya yang sekaligus menjadi pembenci terbesarnya. Seharusnya Arelia memikirkan kemungkinan bahwa dia akan bertemu Mahina di pesta sebesar ini. Bagaimana pun Mahina cukup terkenal dalam perkumpulan sosial. Plus dengan reputasi ayahnya sebagai satu dari sekian daftar para pengusaha sukses.

Jemari Mahina lalu kembali menjelajah, menyentuh sisi wajah Arelia yang terpoles makeup. Gadis itu tersenyum culas. "Aku melihat sesuatu yang hebat hari ini. Kau sedang berpelukan dengan seorang laki-laki. Siapa dia? Kekasih mu? Sepertinya keluarganya cukup menerima mu. Tapi apa mereka tahu kalau kamu itu anak haram? Kira-kira apa yang akan mereka pikirkan jika tahu itu?"

Tahan Arelia, tahan.

Kau tidak boleh menanggapi perkataan Mahina tak peduli seberapa menusuknya itu.

Tidak boleh!

Tak mendapat jawaban Mahina semakin berani, gadis itu tiba-tiba menyentuh gelang yang ada di pergelangan tangan Arelia. Dia tahu gelang ini, sebuah gelang emas yang berasal dari brand ternama. Mahina juga tahu berapa banyak angka nol yang mengikuti harganya. Meski pun dia bisa mendapatkannya dengan sangat mudah namun bagi anak buangan macam Arelia, bagaimana gadis itu bisa mendapatkannya?

Tiba-tiba Mahina meradang, mengangkat tangan Arelia dengan cekalan kuat. "Bagaimana kau bisa mendapatkan ini?"

Arelia sontak menyentak tangannya, tak membiarkan Mahina menyentuhnya.

Reaksi seperti itu jelas membuat Mahina semakin berpikir yang lain. "Apa kau menjual tubuh mu?"

Arelia mendongak, merasa tak terima dengan tuduhan Mahina. Selama ini dia memang kerap kali mendapat hinaan seperti itu namun tetap saja tak ada seorangpun yang akan terbiasa di sakiti. Seberapa kebasnya dirinya, Arelia tetap akan terluka.

Dia masih mempunyai harga diri, bahkan jika itu sama sekali tidak berharga di mata orang lain.

"Aku tidak!" Bentak Arelia sebelum kembali menyadari tindakan yang begitu berani.

Mahina menyeringai. "Tidak apa? Sudahlah kau tidak perlu berpura-pura, lagi pula kau sama murahannya dengan ibumu."

Menyebut ibunya membuat luka yang sebelumnya telah tertoreh kini semakin terbuka. Bahkan jika Arelia sama sekali tidak memiliki perasaan khusus pada wanita yang telah melahirnya itu. Juga pada wanita yang telah meninggalkannya tanpa manusiawi.

Arelia mendorong Mahina menjauh, air matanya tak lagi bisa terbendung. Nyatanya Arelia tidak sekuat itu. "Jaga mulut mu! Selama ini aku diam saja saat kalian terus menghina ku, tapi bukan berarti aku akan selamanya diam!"

Bukan ini yang dia inginkan. Bukan salahnya jika Arelia harus terlahir dari hubungan yang terlarang. Jika dia bisa, Arelia juga tidak ingin dilahirkan dengan cara seperti ini. Dia juga ingin bahagia, mendapat kasih sayang keluarga seperti apa yang sepantasnya seorang anak dapatkan.

Tapi mengapa mereka tidak mengerti hal itu? Mengapa mereka hanya menyalahkannya saat dirinya hanyalah korban yang tak berdaya?

Mendapat perlakuan seperti itu dari Arelia, Mahina jelas tidak bisa menerimanya.

"Beraninya kau berteriak padaku!!" Mahina balik mendorong Arelia sehingga gadis itu menabrak wastapel dan terjerembab jatuh ke atas lantai. "Kau benar-benar menjijikan!" Hardiknya.

Arelia mengerang merasakan nyeri di punggungnya. Tiba-tiba pikirannya melayang, mengingat apa yang telah terjadi beberapa tahun lalu. Hari dimana dia hampir mati di tangan saudari tirinya sendiri.

Tak kuasa menahan sesuatu yang bergumul di dadanya, Arelia balik menatap Mahina dengan sorot dingin. "Bukankah kalian sama saja?! Bukan salahku jika aku menjadi anak haram. Yang salah adalah ayahmu yang bisa-bisanya tergoda pada ibuku. Bukankah kalian semua juga sama saja. Kau dan ibu mu hanya menginginkan harta iya 'kan? Kalau tidak bagaimana kalian mau bertahan dalam hubungan yang jelas-jelas kotor ini!!"

Mahina melotot tak percaya, beraninya Arelia menantangnya?! Murka, Mahina lalu menjambak rambut Arelia dan menampar wajahnya. "Jalang!" Raungnya.

Telinga Arelia berdengung, membuktikan seberapa kerasnya tamparan gadis itu. Arelia berusaha melawan, mencekal kaki Mahina namun kekuatannya benar-benar tak sebanding. Arelia berakhir menjadi mangsa tak berharga di tangan Mahina.

"WHAT THE FUCK ARE YOU DOING?!" Tiba-tiba Alexa membuka pintu toilet dengan mata melotot, gadis itu mendorong Mahina menjauh sebelum akhirnya bersimpuh di depan Arelia. "Oh my God, Arelia..." lirihnya begitu melihat betapa kacaunya penampilan Arelia. Rambutnya yang sebelumnya ditata amat hati-hati kini sudah kehilangan tempatnya, menjuntai tak beraturan menutupi wajah Arelia yang memerah, buah hasil dari tamparan Mahina.

Mahina menatap keduanya dengan nafas terengah. "Ini bukan salah ku, salahkan saja teman rendahan mu itu!" Teriaknya kesetanan.

"Hah!" Alexa menunjuk Mahina. "Rendahan?! Orang yang hanya berani menindas orang yang lebih lemah adalah rendahan! You daughter of a bitch!"

"KAU–"

"Apa? Kau juga ingin menampar ku? Silahkan dan ku pastikan kau akan masuk berita nasional besok pagi!" Tantang Alexa. Bagaimana pun Papanya merupakan pemilik dari perusahaan media.

Mahina mengepalkan tangannya. Dia belum puas membalas gadis itu namun dia sudah berjanji pada Ayahnya untuk tidak membuat masalah.  "Ingat ini baik-baik sialan, kau akan mendapatkan balasannya!" Cecarnya pada Arelia sebelum akhirnya bergegas pergi dengan perasaan murka.

Sepeninggal Mahina, Alexa kembali mengalihkan atensinya pada Arelia. "Are, kamu enggak papa? Aku akan telpon polisi, Mahina harus mendapat ganjarannya."

Arelia segera menahan tangan Alexa. "Jangan..."

"Tapi Arelia kamu enggak bisa diam aja kayak gini, kamu perlu melawan!"

"Aku juga mau, Al. Tapi hasilnya selalu kayak gini, selalu saja aku yang salah," sergah Arelia dengan tangisan yang kembali memuncak.

"Tapi Are..."

Arelia menggeleng. Kembali memberi isyarat agar Alexa menganggap kejadian ini hanyalah angin lalu. Sama seperti sebelum-sebelumnya. Karena bagaimana pun Arelia tidak boleh melawan, tidak jika dia tidak mau mendapat masalah yang lebih besar. Orang sepertinya hanya akan menjadi pihak yang kalah tak peduli seberapa benarnya dia.

Menghadapi Arelia yang seperti itu Alexa mau tak mau menekan amarahnya. Dia tidak bisa melakukan apapun jika pihak yang terlibat tak mau membuka suara. "Kalau gitu aku telpon Bang El ya, biar dia bisa anter kita ke rumah sakit."

Namun sekali lagi Arelia menolak. "Jangan beri tahu siapapun, aku cuma mau pulang."

Alexa mengerang frustasi. "ARE!!"

"Please," lirih Arelia.

"Arelia..." suara Alexa ikut melirih. Gadis yang sebelumnya amat ceria itu terguguk, tak kuasa menahan kesedihan melihat sahabatnya di perlakukan seperti itu.

"Kalau gitu kita pulang," cetus Alexa kalah.

Setelahnya gadis itu memapah Arelia untuk pergi dari sana.

Strawberry Mojito (Open Pre-order)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora