BAB. 20

56.2K 4.6K 59
                                    

Arelia perlahan membuka matanya, mengerjap nyeri ketika cahaya amat silau menembus kedua netranya. Baru setelah membiasakan diri Arelia mulai menyadari kalau dia tidak tengah berada di kamar kosnya. Dibandingkan langit-langit lusuh dengan cat yang hampir seluruhnya terkelupas, tempat ini hampir memiliki warna putih yang sempurna.

Dimana dia?

Pandangan gadis itu mengedar, menatap terkejut pada sosok Axelle yang tengah terlelap di kursi yang terletak di samping ranjangnya. Kepalanya menunduk dengan separuh tubuh yang sepertinya akan jatuh kapan saja. Tampak sangat tidak nyaman. Tapi bukan itu saja yang membuatnya terkejut, melainkan pada sosok kakak sepupunya yang sama-sama terlelap tak jauh dari posisinya. Dityana tampak setengah berbaring di atas sofa yang sebenarnya tidak cocok untuk ukuran tubuhnya. Satu tangannya bahkan menjuntai ke lantai.

Arelia mengernyit. Sebenarnya apa yang terjadi? Mengapa dia ada di satu ruangan yang mirip sekali dengan rumah sakit?

Merasakan sedikit gerakan, Axelle yang memang tidak tidur terlalu nyenyak membuka matanya. Langsung bereaksi begitu melihat kalau Arelia sudah sadarkan diri. "Kamu sudah bangun? Ada yang tidak nyaman?" Berondongnya.

Arelia membuka mulutnya hendak menjawab, mengaduh saat tenggerokannya terasa nyeri. Axelle segera meminumkannya air hangat menggunakan sedotan. "Kenapa aku bisa ada disini?"

"Kamu demam tinggi semalam, jadi saya bawa kamu ke rumah sakit." Axelle kemudian mengusap kening Arelia yang basah oleh keringat. "Babe, are you okay?"

Arelia mengangguk lemah lalu menurunkan pandangan. "Kak Ditya?" Tanyanya.

Axelle mengangkat bahunya dingin lalu melempar sekotak tisu sehingga Dityana spontan tersentak bangun. "Fuck, lo emang enggak punya sopan santun!" Bentaknya.

"Kak Dit..." panggil Arelia.

Dityana yang awalnya ingin menjotos si pelaku sontak menoleh, terbelalak begitu mendapati Arelia. "Kamu udah bangun? Ada yang enggak nyaman?"

Arelia tersenyum geli, apa yang ditanyakan kedua laki-laki itu sama persis. "Enggak papa, Kak." Arelia mengerutkan kening saat mendapati luka memar di rahang bawah Dityana. "Kakak kenapa?"

Dityana tersenyum lesu. Tadi malam setelah dia selesai dengan urusan Mahina, Ditya langsung bergegas ke rumah sakit. Namun dia baru saja melangkah masuk saat tiba-tiba Axelle menonjoknya. Dan begitulah akhirnya mereka terlibat pertempuran sengit yang baru berakhir saat petugas keamanan datang. Tapi bukan hanya itu yang membuat Dityana kesal setengah mati. Dia sendiri harus merelakan wajah tampannya dinodai oleh lebam kebiruan sedangkan Axelle, sang biang keladi masih bisa duduk anteng tanpa luka sedikit pun. Sungguh, perbedaan kekuatan mereka amat timpang.

"Kamu percaya kalau pacar kamu itu mukul Kakak?"

Arelia seketika mendongak. "Abang pukul Kak Dit? Kenapa?"

"Dia pantas mendapatkannya," cetus Axelle dengan lempengnya.

"Jangan berantem..." lirihnya dengan ringisan. Hanya berbicara seperti itu membuat kepalanya seolah terikat oleh tali erat-erat.

"Ada apa? Ada yang sakit?" Tanya Dityana dan Axelle berbarengan.

"Kepala aku pusing."

"Kakak panggil dokter dulu." Dityana segera bergegas keluar ruangan.

"Tunggu sebentar, oke." Axelle mengecup kening Arelia, meminta Arelia untuk bersabar meski jelas sekali kalau laki-laki itu lah yang panik.

Tak berapa lama dokter datang. Dia bilang gejala pusing yang Arelia rasakan hanyalah efek dari demam semalam. Gadis itu hanya perlu meminum obat dan beristirahat. Tapi sepertinya perkataan Dokter malah diterjemahkan secara berlebihan oleh dua lelaki itu. Dityana segera memaksanya melahap semangkuk besar bubur ayam padahal Arelia sama sekali tidak memiliki nafsu makan sedikit pun. Axelle pun sama saja, laki-laki yang belum melepas kemejanya dari kemarin malam itu juga bereaksi amat berlebihan. Masa hanya untuk menggerakkan tubuh saja Arelia diperlakukan seperti orang lumpuh.

Bukannya sembuh Arelia malah semakin pusing dengan tingkah mereka. Untungnya tak beberapa lama Alexa, Cahaya dan Danesh datang sehingga dia bisa terbebas dari mereka.

"Are!" Alexa menerjang Arelia sampai-sampai tubuh mereka terjengkang. "Oh My God, kamu tahu enggak betapa khawatirnya aku waktu denger kamu masuk rumah sakit? Kalau Abang enggak larang aku pasti udah kesini sejak tadi malam."

Arelia memukul punggung Alexa brutal. "Sesak tau!" Sungutnya yang membuat Alexa segera melepaskannya.

"Eh, maaf-maaf," sesal Alexa sembari cengengesan.

"Gimana masih ada yang sakit, sayang?" Cahaya mendorong Alexa menjauh, sebagai gantinya wanita itu mengusap pipi Arelia dengan lembut.

Arelia menggeleng. "Enggak, Ma. Udah mendingan kok."

Cahaya mengangguk. Sejak semalam dia memang tidak pernah absen menghubungi putranya untuk menanyakan kabar Arelia. Dan saat Axelle mengatakan kalau Arelia sudah sadarkan diri, dia langsung menyeret suami dan putrinya untuk pergi ke rumah sakit. “Kamu udah sarapan?"

"Udah, tadi Kak Ditya bawain aku bubur. Udah minum obat juga."

"Walau enggak enak kamu tetap harus makan, jangan lupa minum obatnya biar cepet sembuh. Nanti Mama bawain manisan buah kering ya biar mulutnya enggak pahit."

Arelia tersenyum, sangat bersyukur mendapat perhatian sehangat itu. "Makasih ya, Ma. Maaf aku buat Mama sama yang lainnya khawatir."

Cahaya terdiam sejenak, wanita itu mengusap seluruh wajah Arelia yang kini pucat pasi. Baru menyadari juga pada betapa kurusnya gadis itu. Selama ini Cahaya selalu memastikan kalau anak-anaknya bisa mendapatkan hal terbaik mulai dari makanan bergizi, pakaian, pendidikan dan yang lainnya. Dia tidak pernah segan menghabiskan uang hanya untuk memenuhi kebutuhan Axelle dan Alexa. Hal itu dia lakukan semata-mata karena dia mencintai seluruh keluarganya. Lagi pula itu memang sudah tugasnya sebagai seorang ibu yang harus senantiasa merangkul anak-anak dan suaminya.

Tapi Arelia berbeda. Dia tidak bisa mendapatkan kasih sayang keluarga yang seharusnya dia dapatkan dan bahkan ibunya meninggalkannya. Jujur, Cahaya mungkin tidak bisa bertahan jika dia menjadi Arelia. Merasakan hatinya seolah teriris sembilu, Cahaya menarik Arelia memasuki rengkuhannya. Tak lupa memberinya usapan lembut di punggungnya.

"Mulai sekarang kamu tinggal sama Mama aja ya, sayang. Mama takut kalau kejadian ini akan terulang lagi, apalagi kamu itu tinggal di kosan. Walau ada tetangga yang lain, tapi tetap aja kalau terjadi apa-apa belum tentu mereka tahu. Tadi malam juga, kalau  Axelle tidak datang dan sigap bawa kamu ke rumah sakit, Mama enggak bisa bayangin keadaan kamu gimana. Makanya kamu tinggal di rumah Mama aja, ya? Bareng Alexa."

Arelia mengerjap bingung. "Ma.."

Cahaya menggeleng, menyanggah apapun yang hendak Arelia katakan. "Mama udah tahu masalah kamu dan kamu enggak usah takut, sayang. Mama, Papa, Al sama El enggak akan ninggalin kamu. Mama akan selalu dukung kamu tidak peduli dengan omongan orang, lagi pula kamu itu calon memantu keluarga ini. Kamu pantas bahagia seperti sepantasnya seorang perempuan dapatkan."

Arelia tertegun. Air matanya menetes tanpa bisa dia cegah. Siapa sangka segala ketakutannya ternyata tidak pernah terjadi. Cahaya masih bisa menerimanya bahkan saat wanita itu tahu bagaimana berantakannya kisahnya. Hal yang selama ini amat sangat Arelia inginkan.

"Maaf Mama terlambat tahu. Seharusnya Mama tidak membawa kamu kesana, seharusnya Mama bisa melindungi kamu. Ini semua salah Mama." Arelia menggeleng, balas memeluk Cahaya tak kalah erat.

Kejadian memilukan itu tak luput dari seluruh pasang mata yang juga berada disana. Alexa sudah menangis keras sembari bersembunyi di belakang punggung Papanya sedangkan Axelle lebih memilih menutup mata, tak kuasa menahan perasaan yang membuncah.

Dan orang yang paling terpengaruh adalah Dityana. Sejak tadi laki-laki itu memandang kosong, terenyuh dengan ketulusan yang mereka berikan pada Arelia. Dityana tak bisa menampik kalau dia tak bisa memberikan kasih sayang sebesar itu pada Arelia, bahkan saat dia berusaha mati-matian untuk melindunginya. Arelia membutuhkan sosok keluarga yang bisa menaunginya dari betapa kejamnya dunia. Yang jelas tidak bisa dia dapatkan hanya dari sisi Dityana sendirian. Dityana menarik nafas yang entah mengapa terasa berat, dia harap Arelia bisa bahagia mulai sekarang.

Strawberry Mojito (Open Pre-order)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang