akhir

3.4K 329 58
                                        


Beberapa tahun kemudian.

"Buset―itu Bapak lo, kan?"

Arva sedikit menyiku sepupu perempuannya ketika ia melihat salah satu pamannya datang dengan motor miliknya. Tampilannya juga cukup sederhana, hanya kaos oblong warna putih dan sarung coklat kotak-kotak.

"Lah, iya ... aduh, gue males banget."

"Kenapa? Om Blaze kan asik orangnya."

"Tapi banyak tingkah. Gatau, heran gue. Kok Nyokap gue mau nikah sama cowok kayak begini."

Arva hanya menggelengkan kepalanya, padahal, diam-diam ia iri dengan Faya yang memiliki ayah seperti Blaze.

Tak seperti dirinya yang selalu canggung dengan sang ayah, ia sudah melakukan berbagai cara agar bisa dinotis oleh ayahnya, namun pada akhirnya, ayahnya itu hanya melirik pekerjaannya.

Ibunya pun tak beda jauh, selalu sibuk. Hingga kadang pulang terlambat bersama sang ayah pada jam dua belas atau jam satu malam.

"Om Blaze!" dengan sengaja, Arva panggil saja ayah dari sepupunya itu.

"Anjing, malah dipanggil." Umpat Faya. Kalau ayahnya tau atau ibunya tau, bisa-bisa ia dimarahi, sih. Tapi tak apa, tinggal jawab saja ini ajaran salah satu pamannya.

"Walah, disitu toh kalian. Makasih ya, Va, udah teriak. Kalo Faya sendiri paling Faya bakal ngehindarin Om. Untung ada kamu, Va."

Blaze sedikit menepuk-nepuk rambut halus Arva, ia sangat kenal dengan ponakannya yang satu ini.

Anak sulungnya Halilintar, yang selalu haus perhatian dari Halilintar tapi tak pernah dapat hingga ia memilih menyerah. Terakhir kali yang membuatnya menyerah itu saat berumur sembilan tahun.

Bocah laki-laki ini nekat menjatuhkan diri dari tangga, ia pikir dengan begitu Halilintar akan menjenguknya dan menemaninya. Tapi saat ia tiba di rumah sakit, yang selalu bersamanya malah ibunya dan pamannya; Taufan, dengan alasan jika Halilintar sedang sibuk dan berada di luar kota.

Itu pertama kalinya ia kecewa berat pada Halilintar. Ia pikir, Halilintar itu sosok yang bisa ia idolakan.

"Hehe sama-sama, Om." Ujarnya setelah salim pada Blaze.

"Apa kabar Ayahmu? Masih sibuk banget?"

"Ya gitu. Alhamdulillah belum koid aja, sih."

Blaze tertawa, terkadang mulutnya Arva ini mengingatkan ia pada Halilintar saat zaman SMA, walau sifat mereka sedikit berbeda.

"Tapi Om kenapa ga bilang kalo mau jemput Faya? Padahal Arva mau anter Faya pulang."

"Ets-ets! Enak aja kamu asal bonceng anak perempuan Om! Naksir, ya? Naksir kok sama sepupu, cuih. Sana cari cewek lain."

Haduh, padahal Arva ogah temenan sama Faya dari awal. Cuma karena kasian ga ada teman, terpaksa Arva temenin. 🙏

"Enggak, Om. Gak minat."

"Loh kok gak minat sama Faya, sih!? Dia cantik kayak Mama-nya loh. Boong kalo kamu gak minat."

"Mau Om itu apasih...."

Gedeg juga lama-lama.

Karena tak ingin ini menjadi sebuah perdebatan, Faya langsung mengambil helm yang ayahnya bawakan untuknya lalu naik ke atas motor sang ayah.

"Dah, daaah. Ayo pulang, Yah."

"Sip, yaudah, Va. Om titip salam buat Ayah, ya. Bilang, ini dari adek nya yang dulu selalu ada di samping dia."

introvert; b. blaze [√]Where stories live. Discover now