Ch. 11: Looking for Someone

1K 231 61
                                    

“Ini mah, kebanyakan oleh-olehnya

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

“Ini mah, kebanyakan oleh-olehnya. Nggak Evan, enggak kamu, selalu gak pernah lupa buat bawa sesuatu ke rumah.”

“Danang gak ngasih apa-apa, Tan?”

Kahiyang tersentak kemudian tertawa malu. “Ya ampun. Tante hampir lupa sama si ‘Aa. Belum—eh, bukannya belum cuma abang kemarin bilang si ‘Aa bisanya kemari itu besok.” Maunya biar beda panggilannya, Danang meminta ibu Bian memanggilnya ‘Aa saja ketimbang ‘Nak, dan hingga kini Kahiyang tetap memanggilnya si ‘Aa. “Terus Nak Evan tadi pagi udah kirim paket ke rumah. Gak bisa langsung nganterin sendiri, ada jadwal talk show bilangnya si abang tadi pagi.”

Ryan terangguk-angguk paham. Selepas pulang dari London kemarin buat syuting video klip lagu baru The Bastard, tiba-tiba mereka bertiga sibuk sendiri-sendiri. Danang mendadak dapat panggilan kolab bikin konten Youtube beberapa hari sebelum pulang; Evan dapat job talk show di salah satu tv nasional. Padahal, sepekan lalu mereka sudah janjian untuk datang ke rumah Bian sehari setelah balik dari London, tepat pada hari syukuran rumah baru keluarga Bian. Realita planning itu gagal, masing-masing punya urusan. Ryan sempat ada tawaran iklan cuma dia hold dulu ajakan ketemuan sama pihak dari perusahaan, mengubahnya ke hari lain. Memilih untuk datang ke acara syukuran kepindahan keluarga Bian ke rumah baru—rumah kemarin yang mereka tempati belasan tahun itu merupakan rumah dinas bukan rumah pribadi.

Walaupun dia datang terlambat dari acara itu sendiri. Di saat para tamu undangan sudah membubarkan diri, Ryan baru muncul. Agak disayangkan, tapi ya sudahlah yang penting datang.

Ryan celingukan ke belakang. Menilik ke seisi ruangan. Mencari-cari eksistensi seseorang di antara kerabat keluarga Bian yang berlalu lalang di koridor rumah. Kadang-kadang ada saja kerabat Bian yang terlihat kaget saat lihat keberadaannya. Jenis-jenis ekpresi yang seringkali Ryan jumpai dari orang-orang saat pertama kali melihatnya di tempat umum.

“Tapi makasih, ya, Nak Ryan, buat oleh-olehnya dari London.”

Perhatian Ryan teralihkan ke ibu Bian lagi. Dia lalu tersenyum sebagai balasannya.

“Yan!” Panggilan itu menyita perhatian Ryan hingga dia mendongak ke depan. Bian berdiri di atas tangga dengan tangan melambai-lambai ke arahnya. Menyuruhnya agar cepat menyusulnya ke lantai atas. “Sini!” teriaknya.

“Nah, itu si Abang.” Kahiyang tersenyum, menepuk-nepuk lengan Ryan menyuruhnya agar menyusul temannya ke sana.

Dibanding rumah dulu, rumah sekarang lebih luas dan gede. Designnya terkesan modern dan ada sedikit sentuhan rumah ala Jepang yang secara pribadi Bian request selama masa pembangunan. Perpaduan antara abu-abu, putih, dan cokelat kayu jati memanjakan mata di sepanjang Ryan melihat-lihat interior rumah. Kalau dulu kamar Ryan terletak di lantai bawah, sekarang kamarnya ada di lantai atas.

Sebenarnya rumah dinas masih ditempati oleh keluarga Bian karena ayahnya belum keluar dari pekerjaannya. Mereka akan sering bolak-balik tinggal antara rumah dinas dan rumah pribadi. Lagian, sayang punya rumah dinas, tapi teranggurkan. Sementara rumah yang sekarang mulai dibangun semenjak Bian menghasilkan uang sendiri dan memutuskan untuk membangun rumah untuk keluarganya. Biar suatu saat jika ayahnya memutuskan resign kerja, keluarganya tak perlu lagi repot-repot cari tempat tinggal baru. Mereka bisa langsung pulang ke rumah yang Bian bangun dengan hasil jerih payahnya sebagai seorang streamer.

Knock Knock Your HeartWhere stories live. Discover now