Ch. 20: What is this? A Movie date?

903 188 39
                                    

Krik

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Krik ... krik ....

Seperti suara jangkrik yang bernyanyi kala hujan telah usai. Sepasang dalam satu ruang itu saling membisu usai perdebatan konyol nan panjang yang menguras banyak tenaga. Raut kelelahan terlukis gamblang di wajah masing-masing. Mereka capek telah buang-buang energi memerebutkan satu judul film belaka.

Layaknya pasangan bocah umur 5 tahun yang saling merebutkan mainan. Jika salah satu tak mau menyerah, salah satunya pun menangis. Beruntung keduanya bukan salah satu dari bocah yang suka menangis karena tak suka kalah. Mereka sama-sama lebih suka jadi bocah pantang menyerah, yang ngotot soal jenis apa pun topik perdebatannya dan berpendapat bahwa omongan mereka yang paling mendekati kebenaran. Tak mau mengalah, kepala batu, dan cerewet.

Jiva seperti biasa selalu dibuat kesal setengah mati oleh Ryan. Padahal, dulu pria yang pernah dia taksir itu tidak pernah semenyebalkan ini, cenderung kalem dan jarang ngomong. Jiva versi lampau bahkan menganggapnya sebagai sosok cowok keren. Namun, di masa kini dia bukan sosok yang akan terlihat keren lagi di matanya, melainkan cowok menyebalkan, rese, dan penganggu yang tak bisa diam.

Usai perdebatan konyol mereka tadi, Jiva segera mengamankan laptopnya. Menjauhkan benda tersebut dari Ryan yang belasan menit lalu memicu insiden rebutan laptop gara-gara pilihan film mereka beda. Jiva ngotot pengen nonton superhero; Ryan yang tak begitu menikmati film superhero segera menyuruhnya mencari film lain lagi yang langsung ditolak dan berakhir mereka adu mulut.

Kelakuan orang tua dan anak muda satu ini beneran enggak tertandingi. Enggak ada yang dapat menyamai mereka, kecuali diri mereka sendiri.

“Baru kali ini gue dapat tamu kepala batu,” sindirnya masih dendam atas insiden lalu.

Ryan tak mengelak karena dia sadar dengan kelakuannya tadi. Cuma seenggaknya Ryan masih dapat mengontrol omongannya, sejauh ini belum ada kata-kata tajam yang pernah keluar dari mulutnya saat bertemu Jiva. Mengingat dia sendiri dapat julukan dari teman-temannya sebagai si mulut tajam yang tak kenal ampun.

“Mendingan nonton film ini aja daripada ribut gak jelas,” katanya sambil meletakkan kembali laptop di atas meja belajar lipat.

“Film apa? Bukan superhero, kan?”

“Apa? Mau cari gara-gara lagi?” Dia mendengus, kedua tangannya mulai lagi berkacak pinggang, dan dagu terangkat tinggi-tinggi siap menantang balik jika Ryan mulai lagi berulah mengajaknya berdebat. “Kalau mau nonton film lain sana pergi ke bioskop atau balik aja ke hotel. Heran banget sama orang tua satu ini, sukanya cari ribut sama anak muda.”

“Gue masih 28 tahun, Jiv.”

“Dua tahun lagi Kak Ryan udah kepala tiga. Gak usah sok kelihatan masih muda gitu. Malu sama angka 8 di belakang angka 2.”

Ryan diam menatapnya, sebelum menghela napas berat. Rautnya terlihat lagi frustasi setiap kali Jiva menyebut dirinya sebagai orang tua. Seolah-olah ada jarak lebar di antara mereka yang menyuruhnya agar pelan-pelan berhenti melangkah untuk meraih posisinya. Dua tahun lagi Ryan sudah memasuki usia kepala tiga, sedang Jiva baru memasuki usia kepala dua di tahun ini.

Knock Knock Your HeartWhere stories live. Discover now